Mengislamkan Jawa: Berakhirnya Sintesis Mistik


SULTAN Agung, penguasa Mataram, memperkenalkan karya-karya literatur yang terinspirasi ajaran Islam. Salah satunya Kitab Usulbiyah. Membaca kitab ini dianggap setara dua dari lima rukun Islam –mengeluarkan zakat dan berhaji ke Mekkah– dan pergi berjihad. Dalam karya ini, Nabi Muhammad digambarkan mengenakan mahkota emas dari Majapahit, dan dengan demikian mempersatukan dua simbol kekuasaan yang besar: Islam dan Jawa.

Rekonsiliasi antara identitas Islam dan tradisi Jawa tersebut mengawali pembahasan buku terakhir dari sejarah Islamisasi di Jawa karya sejarawan MC Ricklefs. Dua buku sebelumnya, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourtheenth to Early Nineteenth Centuries (2006) dan Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830-1930 (2007) dirangkum di bab pertama buku ini.

Ricklefs mengistilahkan rekonsiliasi identitas, keyakinan, dan gaya Jawa dengan Islam sebagai sintesis mistik. Sintesis ini didasarkan pada tiga pilar utama: kesadaran identitas bahwa menjadi orang Jawa berarti menjadi Muslim; menjalankan rukun Islam; serta menerima realitas kekuatan spiritual khas Jawa seperti Ratu Kidul.

Pasca-Perang Jawa, yang dianggap sebagai awal sejarah kolonial Belanda bagi masyarakat Jawa, sintesis mistik mulai meredup. Kolonialisme melempangkan jalan bagi Kristenisasi di Jawa untuk menunjukkan bahwa “menjadi orang Jawa tidak serta-merta menjadi Muslim.” Kelas menengah Jawa, yang bersentuhan dengan gerakan puritan Wahabisme, mendorong gagasan permurnian Islam.

  
Polarisasi antara sintesis mistik dan kaum reformis membelah kaum Muslim Jawa: mereka yang saleh dan berpegang teguh pada ajaran Islam menyebut diri putihan atau santri; sedangkan yang tidak begitu taat kepada ajaran Islam dan kebanyakan tidak lagi melaksanakan rukun Islam disebut abangan. Perbedaan keduanya juga tercermin dalam kehidupan sosial. Misalnya, sementara putihan membaca karya-karya dalam bahasa Arab, kaum abangan memilih menonton wayang.

Sementara itu, di kota-kota besar di Jawa, tumbuh kaum priayi yang memandang penggabungan pengetahuan modern ala Eropa dan restorasi kebudayaan Hindu-Jawa adalah kunci menuju modernitas. Di antara mereka juga terdapat sentimen anti-Islam; Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari sebuah kebudayaan, kerajaan Majapahit.
Perbedaan sosial di antara santri, abangan, dan priayi kemudian dipolitisasi dan semakin tajam seiring tumbuhnya berbagai gerakan politik –dalam buku ini Ricklefs lebih banyak membahas santri-abangan; barangkali priayi dilebur ke dalam abangan karena sama-sama penentang Islam.

Tersingkir Politik Aliran

Pada awal abad ke-20 Islam masuk ke ranah politik. Kaum santri tampil di pentas politik terwakili oleh dua aliran utama: Nadhlatul Ulama (NU) yang tradisionalis dan Muhammadiyah yang lebih modernis. Sementara kaum abangan berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Polarisasi santri-abangan pun terpolitisasi, terutama mengemuka setelah masa perang.
Tahun 1950-an menjadi fase selanjutnya dari perkembangan politik santri. Masyumi, yang mengakomodasi sejumlah organisasi Islam termasuk Muhammadiyah, tampil sebagai ujung tombak perjuangan ide-ide keislaman. NU, yang keluar dari keanggotaan Masyumi, menjalankan berbagai aktivitas yang lebih modern. “Namun, proses Islamisasi baik yang bergaya modernis maupun tradisionalis mendapatkan penentangan yang semakin besar seiring penguatan politik aliran,” tulis Ricklefs.

Penentang terkuat Islamisasi kaum santri datang dari PKI. Menurut Ricklefs, PKI berusaha menghindari kesan antiagama sembari memposisikan diri sebagai partai kaum abangan, sedangkan kaum santri tak henti-hentinya menekankan aspek ateistik dari komunisme.

Blok santri runtuh ketika gagasan negara Islam di Indonesia yang mereka perjuangkan di Konstituante kandas. Dominasi militer dan negara juga meminggirkan posisi mereka sekaligus menempatkan partai-partai abangan di atas angin. Akhir dari politik kaum santri adalah pembubaran Masyumi.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengubah segalanya. Kaum abangan hancur. Kaum santri bekerjasama dan berbagi kepentingan dengan militer dan rezim Orde Baru yang tengah muncul dan dipimpin Soeharto.

Islam yang Mendalam

Hancurnya PKI, bagi kaum santri, berarti hilangnya penghalang utama bagi proses Islamisasi. Mereka membayangkan Islam mendapat tempat yang selayaknya: keyakinan dan berbagai praktik Islam dapat mendominasi masyarakat, dan tak ada yang menghalangi jalan mereka menuju pembentukan sebuah negara dan masyarakat Islam. “Mereka salah besar,” tulis Ricklefs.

Sempat mendapat kesempatan dalam pemilu 1971, rezim Orde Baru kemudian membonsai partai politik Islam dan membatasi kegiatan Islam politik. Namun menurut Ricklefs, kebijakan ini berakibat ganda; meski tertekan, posisi kaum santri semakin kuat di tatanan akar rumput.

Sadar bahwa tak ada prospek nyata dalam berpolitik, para pemimpin kaum santri mengalihkan perhatian pada upaya Islamisasi di bawah. Mereka memiliki banyak institusi yang mempromosikan, menguatkan, dan membela cara hidup religius: dari masjid sampai pesantren, rumahsakit hingga panti asuhan. Organisasi-organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, DDII, dan Persatuan Islam juga menunjukkan eksistensinya.

“Semuanya ini secara institusional memperkuat cara hidup santri di antara masyarakat Jawa,” tulis Ricklefs.

Dengan demikian, Ricklefs menyimpulkan bahwa Islamisasi pada masa Orde Baru semakin mendalam. Masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya semakin Islami. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kelas menengah yang menaruh perhatian pada Islam, tumbuhnya sekolah-sekolah Islam modern, hingga pemakaian jilbab. Bahkan secara anekdot Ricklefs menunjuk maraknya penamaan dari bahasa Arab dan popularitas lagu-lagu bernada dakwah dari raja dangdut Rhoma Irama.

Bersamaan dengan itu, gerakan revivalisme Islam juga tumbuh. Ricklefs menyebut tiga tokoh di balik gerakan pemurnian Islam pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, yang kebetulan menggunakan nama awalan sama: Abdullah Marzuki, Abdullah Thufail, dan Abdullah Sungkar. Nama terakhir bersama sejawatnya Abu Bakar Baasyir menjalankan agendanya dengan cara radikal sehingga selalu bermasalah dengan penguasa. Hingga kini, para pengikut Abu Bakar Baasyir terus beraksi.

Kaum santri, baik tradisionalis, modernis, dakwahis, maupun revivalis mendorong menguatnya Islamisasi pada masa Orde Baru. “Pada 1990-an sudah muncul kemungkinan bahwa kaum abangan telah menjadi minoritas di antara masyarakat Jawa,” tulis Ricklefs.

Pascatumbangnga rezim Orde Baru pada 1998, muncul beragam pandangan yang saling bersaing dan bertentangan menenai seperti apa bentuk masyarakat Jawa dan tentu saja masyarakat Indonesia yang lebih Islami. Kaum abangan dan santri tidak lagi menjadi fokus, tetapi perhatian dialihkan ke para pembela berbagai interpretasi Islam yang saling bertentangan tersebut.


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar