Sidang Sengketa Pilkada, KPU Kepri dan Hakim Heran atas Tuduhan Pasangan Isdianto-Suryani, Ini Penyebabnya

Gedung Mahkamah Konstitusi

TRANSKEPRI.COM.JAKARTA- Permohonan pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Isdianto yang juga petahana dan Suryani pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kepulauan Riau, mengundang rasa heran.

Hal itu diungkapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kepri selaku termohon pada sidang perselisihan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (4/2).

KPU Kepri merujuk pada dalil pemohon mengenai dugaan kecurangan di Kota Batam, Kepulauan Riau. Menurut kuasa hukum KPU Kepri Taufik Hifayat, pihaknya tidak akan menanggapi sebab bukan wilayah kewenangan mereka. Akan tetapi, KPU Kepri mengaku heran sebab di Kota Batam, pemohon justru mendapatkan suara paling banyak ketimbang paslon lainnya.

"Perlu kita ketahui pemohon petahana Kepri secara politik birokrasi, pemohon memiliki kekuatan untuk menggerakkan sumber daya yang ada untuk memilih dirinya. Saksi dari pemohon paling banyak tersebar kalau dipresentasikan 90% saksi hadir. Pelanggaran di Kota Batam, untuk dalil adanya janji kampanye bukan wilayah kami, jadi kami tidak menanggapinya. Faktanya di Batam diduga terstruktur, sistematis dan masif (TSM) justru pemohon meraih suara terbanyak dibandingkan paslon lainnya," papar Taufik.

Hal itu ditanggapi pula oleh ketua panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat "Mestinya malah pemohon yang bisa ya," ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang mengetuai majelis hakim panel 3 dengan anggota Saldi Isra dan Manahan Sitompul.

KPU Kepri juga menilai permohonan paslon nomor urut 2 Isdianto-Suryani disebut tidak jelas. Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil kecurangan yang dilakukan oleh KPU Provinsi Kepri dalam tudingan memenangkan pasangan calon nomor urut 3 yakni Ansar Ahmad-Marlin Agustina.

"Permohonan tidak jelas, dalil pemohon mengenai banyaknya penggelembungan suara yang dilakukan termohon di tiap kota untuk memenangkan paslon nomor urut 3 tidak jelas, karena tidak dituangkan secara lengkap berapa suara yang digelembungkan terjadi di tempat pemungutan suara (TPS) atau kota mana saja," ujar Taufik.

Pada perkara nomor 131/PHP.GUB-XIX/2021 itu disampaikan juga oleh pihak KPU Kepri bahwa pada dalil yang menguraikan banyak tim sukses paslon nomor urut 3 di Provinsi Kepri menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), pemohon tidak menyebut di mana saja sehingga lokus permohonan tidak jelas.

"Lalu pada permohonan disebutkan, diketahui banyak nama orang meninggal masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) tidak jelas dan siapa oknum yang menggantikan tidak jelas," tuturnya.

Pada keterangannya, KPU Kepri menyatakan MK berwenang menyidangkan permohonan permohon karena dalil pemohon lebih banyak menguraikan pelanggaran yang sifatnya TSM dan tindak pidana pemilihan. Hal itu menurut kuasa hukum KPU Kepri merupakan kewenangan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Sentra Penegahan Hukum Terpadu (Gakkumdu) bukan mahkamah.

"Mengenai kedudukan hukum pemohon, selisih perolehan suara pemohon dengan paslon peraih suara terbanyak (nomor urut 3) sebesar 28.393 suara sementara ambang batas dalam perkara a quo sebesar 15.445 suara mestinya hanya 2%, ini melebihi 2% atau 3,6%," papar Taufik.

Pada permohonannya, pemohon mendalilkan ketidakprofesionalan KPU juga terlihat pada saat sebelum pencoblosan dan saat pencoblosan. (tm)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar