Sejarah dan Budaya

Nasib Tragis Anak Emas Jendral A H Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mayor Boyke Nainggolan. (Wikipedia)

Karena membelot ke PRRI, Boyke Nainggolan menjadi seteru Jenderal Nasution. Padahal sebelumnya sang jenderal menaruh harapan dan kepercayaan besar kepadanya.

Nama Abdul Haris Nasution lekat dengan predikat percobaan setengah kudeta. Saat masih berpangkat kolonel, dia menjadi dalang pengerahan moncong meriam ke Istana Merdeka guna mendesak pembubaran parlemen. Akibatnya, kedudukan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dicopot atas perintah langsung Presiden Sukarno.

Setelah peristiwa 17 Oktober 1952 itu, Nas – akrab disebut – dinonaktifkan dari dinas kemiliteran. Nas kemudian membentuk organisasi Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Aktivitas Nas pun berganti dari seorang petinggi TNI menjadi orang sipil. Nas turut turun ke tengah masyarakat berkampanye mengikut sertakan IPKI dalam Pemilu 1955.

Ketika menggalang dukungan sejawatnya dari militer, tidak semua pihak mau menerima Nas. Banyak perwira yang anti padanya. Atau setidaknya, mereka enggan berhubungan dengan Nas yang telah dipecat oleh pemerintah. Nas sendiri tidak mengatahui siapa yang menjadi kawan atau lawannya.

“Lebih jelas lagi, apakah kawan masih kawan, karena perjuangan antar partailah yang membuat demarkasi baru antara kawan dan lawan. Sungguh menyedihkan!” tutur Nas dalam memoar Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 3: Masa Pancaroba Pertama.

Nas merasa terasing ditengah lingkungan yang sangat dia kenal. Tapi perasaan itu sirna ketika Nas berkunjung ke Medan untuk kampanye. Seorang perwira menengah bernama Mayor Boyke Nainggolan menarik simpati Nas. Komandan Batalion 131 kota Medan itu mengundang Nas untuk berceramah tentang perjuangan di depan batalyonnya. Saat Nas memberikan ceramah, Batalyon 131 mengenakan seragam tempur karena sedang latihan. Seperti teringat memori silam ketika menjadi Panglima Siliwangi, Nas merasa terhormat.

“Dan komandan batalion (Boyke Nainggolan) memberikan perhatian, agar para prajurit menghayati uraian saya tentang perjuangan. Begitulah kampanye yang sibuk tapi banyak mengandung pelajaran bagi saya,” kenang Nas.

Perwira Kesayangan

Ketika Nas diangkat kembali untuk memimpin Angkatan Darat, hubungannya dengan Boyke Nainggolan semakin erat. Boyke boleh dikatakan menjadi perwira kepercayaan Nasution di Medan. Sebagai atasan dan bawahan, keduanya kerap bertukar informasi 

Seperti dituturkan Nas dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua, Boyke pernah melaporkan adanya oknum perwira Teritorium I/Bukit Barisan yang korup dan terlibat penyelundupan di Teluk Nibung tahun 1956. Mereka antara lain, Mayor Junus Samosir dan Mayor Ramli dari bagian intendans (perbekalan). Boyke Nainggolan bahkan sampai melakukan penahanan terhadap kedua perwira itu. Nasution pun turun tangan dengan memutasi Mayor Samosir ke Tapanuli.  

Indikasi Boyke sebagai perwira kesayangan Nasution kiranya tersua dalam Memoar Ventje H.N. Sumual. Masih pada tahun 1956, berlangsung seleksi perwira-perwira menengah yang akan ditugaskan mengikuti pendidikan staf dan komando di Command and Staff College Fort Leavenworth di Kansas, Amerika Serikat. Dari 50 perwira yang tersaring hanya 1 orang yang akan terpilih untuk berangkat. 

Menurut Ventje Sumual, reputasi Boyke sebagai perwira cerdas dan brilian memang telah diakui oleh pimpinan Angkatan Darat. Maka perwira Batak inilah yang digadang-gadang memenangkan seleksi. Ternyata, Boyke Nainggolan hanya menempati peringkat kedua sedangkan peringkat pertama diraih oleh Ventje Sumual.

“Setelah melihat hasil ujian di mana Boyke Nainggolan tidak terpilih, MBAD menganggap itu adalah sesuatu yang sangat disayangkan, sayang kalau perwira secerdas Boyke tidak dikembangkan optimal,” kata Ventje.

Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) kemudian mengajukan permohonan ke Fort Leavenworth agar menambah jatah untuk Indonesia. Kedutaan Amerika Serikat (AS) di Jakarta turut dibujuk agar memperjuangan tawaran ini kepada pemerintahnya. Akhirnya diputuskan Ventje Sumual dan Boyke Nainggolan yang diutus belajar ke AS.

Namun ditengah jalan, Ventje Sumual diangkat menjadi Panglima Teritorium VII/Wirabuana yang membawahkan wilayah operasi Indonesia Timur. Untuk menggantikan Sumual dipilihlah Achmad Tirtosudiro yang semula menempati pada peringkat tiga. Jadilah Boyke dan Achmad Tirtosudiro yang berangkat ke Amerika. Kebijakan ini tentu terjadi atas sepengetahuan dan restu Nasution selaku pimpinan tertinggi di MBAD.

Menangkap Boyke Nainggolan

Setelah menyelesaikan tugas pendidikan di  Amerika, Boyke diangkat menjadi wakil kepala staf Teritorium I/Bukit Barisan. Belum lama menjabat, Nainggolan sudah bikin gebrakan. Terprovokasi sejumlah seniornya, Boyke memutuskan untuk memihak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Pada 15 Maret 1958, Mayor Boyke mengerahkan pasukannya dari Batalion 131 untuk menguasai kota Medan. Gerakan bersenjata bersandi “Sabang-Merauke” itu menjadi operasi militer pertama yang mendukung PRRI. Berita ini sontak saja bikin Nasution yang berada di Jakarta jadi kaget dan berang. Karena dianggap telah melakukan pemberontakan, Nasution memerintahkan penangkapan terhadap Mayor Boyke Nainggolan.

“Kami perlu bertindak, karena jika Mayor Boyke Nainggolan dapat bertahan beberapa hari, maka diperkirakan bahwa Resimen 3 Tapanuli akan memihak ke PRRI, mungkin juga Aceh menyusul, sehingga separuh Sumatra menjadi PRRI,” ujar Nas dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4.

Pembangkangan Boyke Nainggolan membuat hubungannya dengan Nasution rusak seketika. Entah apa yang melatari Boyke sehingga membelot kepada PRRI. Ada yang menyatakan sikap Boyke adalah wujud solider belaka terhadap rekan-rekannya yang menuntut otonomi daerah. Pendapat ini diungkapkan Payung Bangun dalam biografi Kolonel Maludin Simbolon: Lika-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa.

Sebelum mempersiapkan Operasi Sabang Merauke, kata Payung Bangun, Mayor Henry Siregar – kawan Boyke – menganjurkan kepada Kolonel Maludin Simbolon, panglima Teritorium I/Bukit Barisan untuk mengirimkan pesan melalui surat kepada Boyke. Isi surat tersebut menyangkut perjuangan daerah dan melawan pengaruh komunisme yang semakin menguat.  

Namun keterangan yang bertolak belakang dikemukakan oleh Sayidiman Suryohadiprodjo. Dalam otobiografinya, Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TNI, Sayidiman mempertanyakan loyalitas Boyke terhadap rekan-rekannya yang memberontak. Apakah keterlibatan Boyke dalam PRRI murni (genuine) atau sebagai kompensasi atas ketidakaktifannya selama Perang Kemerdekaan Kedua?

Menurut Sayidiman, pada Perang Kemerdekaan Kedua, Boyke berada di Belanda untuk bersekolah. Ketika operasi penumpasan PRRI, Sayidiman memimpin Batalion 309 Siliwangi menghadapi pasukan Boyke Nainggolan di Tapanuli. Sebelum melakukan penyerangan, Sayidiman mengaku meminta Boyke untuk menyerah lewat sepucuk surat namun tidak ditanggapi.  

“Boyke ini sebelum turut PRRI termasuk perwira kesayangan Pak Nasution. Nanti setelah PRRI selesai tampak betul betapa orang ini mengalami banyak tekanan batin,” kata Sayidiman. Sinyalemen Sayidiman itu terbukti kala PRRI berhasil ditumpas oleh pemerintah Sukarno. Entah karena apa, Boyke memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan meloncat dari sebuah menara.

“Hidupnya memang tragis. Padahal dia berpotensi menjadi seorang pimpinan tentara di masa depan," ungkap Sayidiman saat diwawancara Historia lima tahun lalu.
 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar