Paregreg Perang Saudara yang Picu Hancurnya Majapahit

Candi Kendalisada berdiri kokoh di ketinggian 1.253 mdpl, diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Majapahit. Foto/SINDOnews/Ali Masduki

TRANSKEPRI.COM, Gelombang perang saudara, secara perlahan menenggelamkan keagungan Kerajaan Majapahit. Kerajaan besar yang berada pada masa keemasan kala dipimpin Raja Hayam Wuruk, dan didukung oleh Mahapatih Gajah Mada itupun akhirnya hancur lebur.
Usai mangkatnya Mahapatih Gajah Mada, dan kemudian disusul dengan mangkatnya Raja Hayam Wuruk. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya pada 1293 masehi ini, tak pernah surut dari aksi pemberontakan dan perang saudara.
Pemberontakan bertubi-tubi mendera Majapahit. Bahkan berbagai pemberontakan dahsyat terjadi usai Raden Wijaya Mangkat, dan Jayanegara yang merupakan putra mahkota diangkat menjadi raja kedua di Kerajaan Majapahit.
Sedikitnya ada empat pemberontakan besar di masa pemerintahan Jayanegara. Perangai yang buruk dari Jayanagara, dan posisinya yang merupakan keturunan dari ibu berdarah Melayu, membuat sejumlah petinggi kerajaan tidak menyukainya, sehingga bara pemberontakan sulit untuk dipadamkan.

Kitab Pararaton mencatat, sejumlah pengikut setia Raden Wijaya, beberapa kali melancarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Jayanagara. Di antaranya, dilakukan oleh Ranggalawe yang diduga terjadi tahun 1309 saat Jayanagara naik tahta di Majapahit.

Bahkan, patih yang membantunya memerintah di Kadiri, atau Daha, Lembu Sora, turut melakukan pemberontakan pada tahun 1311. Pemberontakan ini terjadi karena hasutan Mahapati yang diduga juga musuh dalam selimut Jayanagara.
Pemberontakan berikutnya, dilancarkan oleh Nambi pada tahun 1316. Pemberontakan ini, diduga akibat ambisi ayah Nambi, Aria Wiraraja. Sebelum memberontak kepada rajanya, Nambi menjabat sebagai patih istana, namun ayahnya menginginkan Nambi menjadi raja.
Aksi pemberontakan paling dahsyat, adalah yang dilakukan Kuti pada tahun 1319. Di mana Kuti mampu menguasai istana Majapahit, hingga membuat Jayanagara lari mengungsi di Desa Badamder. Namun, berkat kelihaian dan keberanian Gajah Mada dengan pasukan Bhayangkaranya, akhirnya pemberontakan Kuti berhasil ditumpas.
Bukan hanya menghadapi pemberontakan dari internal kerajaannya. Jayanagara ternyata juga sempat menghadapi serangan dari pasukan Mongol. Hal ini didasarkan pada kesaksian seorang misonaris Odorico da Pordenone saat mengunjungi Pulau Jawa. Upaya pasukan Mongol menjajah Jawa, berhasil digagalkan oleh pasukan
Majapahit.

Kematian raja Majapahit dengan gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara tersebut, menyisakan cerita buruk karena dibunuh oleh abdi dalem kerajaan yang istrinya digoda oleh sang raja.

Usai sang raja mangkat, tahta raja Majapahit dijabat Gayatri yang merupakan ibu suri di Kerajaan Majapahit. Hal ini diakibatkan karena Jayanegara belum memiliki keturunan. Tetapi karena Gayatri telah menjadi seorang Bhiksuni, akhirnya raja Majapahit diisi adik tiri Jayanegara, Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Usai Tribhuwana Wijayatunggadewi mundur dari jabatannya sebagai raja, karena Gayatri meninggal dunia. Akhirnya tampuk kepemimpinan Majapahit berpindah ke putra mahkota, Hayam Wuruk, dan bersama Mahapatih Gajah Mada, membawa Majapahit mencapai puncak kejayaan.

Setelah Hayam Wuruk mangkat, peneliti sejarah Riboet Darmosoetopo dalam tulisannya yang berjudul "Sejarah Perkembangan Majapahit ", menyebutkan posisi raja digantikan oleh Wikramawardhana, yang merupakan anak Dyah Nrtta Rajasaduhitecwari.
Dyah Nrtta Rajasaduhitecwari merupakan adik Hayam Wuruk, yang menikah dengan Bhre Paguhan. Wikramawardhana juga menikahi putri Hayam Wuruk, Kusumawardhani. Setelah memerintah Majapahit selama 11 tahun, Wikramawardhana mangkat, dan posisinya sebagai raja digantikan putranya, Suhita.

Naik tahtanya Suhita, memicu pertentangan antara dua keluarga besar di kerajaan Majapahit. Yakni antara keluarga besar Wikramawardhana, dengan Bhre Wirabhumi. Bhre Wirabhumi merupakan anak Hayam Wuruk dengan istri selir.

Sengketa dua keluarga ini, menimbulkan perang saudara selama tiga tahun lamanya. Perang ini dikenal dengan sebutan perang Paragreg. Dalam buku "700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai" keluarga Wikramawardhana yang disebut sebagai kelompok Keraton Kulon (Barat), mendapatkan bantuan dari Bhre Tumapel, Bhre Hyang Parameswara.

Sementara keluarga Bhre Wirabhumi disebut sebagai kelompok Keraton Etan (Timur). Bhre Wiabhumi sendiri akhirnya berhasil ditangkap oleh pemimpin pasukan Keraton Kulon, yakni Raden Gajah. Dan akhirnya kepala Bhre Wirabhumi dipenggal oleh Raden Gajah.

Kematian Bhre Wirabhumi, ternyata tidak serta-merta menyurutkan pertentangan dua keluarga tersebut. Bahkan, Raden Gajah juga akhirnya dibunuh karena membunuh Bhre Wirabhumi.
Suhita akhirnya mangkat pada tahun 1447 masehi. Karena Suhita belum memiliki anak, akhirnya takhta Raja Majapahit digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya. Setelah Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya mangkat, posisinya sebagai raja digantikan oleh Bhre Pamotan, dengan gelar Sri Rajasawardhana, dan lebih dikenal dengan nama Sang Sinagara.
Dalam Kitab Pararaton, Sri Rajasawardhana menjadi raja Majapahit yang berkedudukan di Keling-Kahuripan. Dalam tulisannya, Riboet Darmosoetopo menyebutkan, ada dugaan pada masa kepemimpinan Sri Rajasawardhana, ada pemindahan pusat kerajaan ke Keling-Kahuripan. Kondisi ini diperkirakan akibat masih terjadinya pertentangan dua keluarga di pusat kerajaan Majapahit.

Kerajaan Majapahit, sempat mengalami kekosongan kepemimpinan selama tiga tahun. Tepatnya, saat Sri Rajasawardhana mangkat pada tahun 1453 masehi. Hingga akhirnya, pada tahun 1456 masehi Dyah Suryyawikrama Girindrawardhana, anak dari Dyah Kertawijaya, naik takhta.

Selama 10 tahun lamanya Dyah Suryyawikrama Girindrawardhana mengisi tampuk kepemimpinan Majapahit, hingga akhirnya mangkat, dan digantikan oleh Bhre Pandan Salas, yang bergelar Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana. Dalam prasasti Paminyihan tahun 1473 masehi, Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana disebut sebagai peuasa tunggal di Jawa yang disebutkan sebagai Jawabhumyekadhipa.
Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana juga disebut dalam Kitab Siwaratrialpa karya Mpu Tanakung, sebagai keturunan wangsa Girindra. Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana akhirnya menyingkir dari Keraton Majapahit, karena adanya serangan dari Bhre Kertabhumi yang merupakan anak bungsu dari Sang Suragara.

Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana menyingkir ke Daha, demi menyelamatkan pemerintahannya, hingga akhirnya mangkat pada tahun 1474 masehi. Posisinya digantikan oleh Dyah Ranawijaya, dengan gelar Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Pada tahun 1478 masehi, Dyah Ranawijaya melancarkan serangan kepada Bhre Kertabhumi di pusat Keraton Majapahit. Dalam peperangan besar ini, Bhre Kertabhumi akhirnya tewas.
Babad Tanah Jawi menyebut, Majapahit runtuh akibat serangan Kerajaan Islam Demak. Hal ini ditandai dengan sengkalan sirna ilang kertaning bumi, bertahun 1.400 saka atau 1478 masehi.

Dalam catatan Riboet Darmosoetopo, keberadaan kerajaan Majapahit tidak benar-benar lenyap usai adanya serangan Demak. Sejumlah prasasti menyebut, pada tahun 1486 masehi Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawardhana merupakan raja di wilayah Wilwatiktapura Janggala, dan Kadiri.

Berita China dari Dinasti Ming, menyebutkan adanya hubungan dengan raja Jawa, pada tahun 1499 masehi. Bahkan Gubernur Portugis di Malaka, Rui de Brito pada tahun 1514 masehi, menyebutkan ada dua raja "Kafir" yaitu raja Sunda, dan raja Jawa. Hal yang sama juga dituliskan oleh penulis Italia, Barbosa, yang menyebut raja 'kafir" di pedalaman Jawa, pada tahun 1518 masehi.

Barulah pada tahun 1522 masehi, seorang ahli Italia lainnya, Antonio Pigafeta menyebutkan bahwa penguasa di Majapahit adalah Pati Unus. Tulisan inilah yang mengisyaratkan bahwa kala itu Majapahit sudah masuk dalam kekuasaan kerajaan Demak.

Penakhlukan Majapahit oleh Demak, tak terlalu gamblang diceritakan dalam Seran Kanda, dan Serat Darmogandul. Riboet Darmosoetopo menduga, kematian Bhre Kertabhumi pada tahun 1478 masehi akibat serangan Dyah Ranawijaya, dijadikan sengkalan sirna ilang kertaning bumi dalam Babad Tanah Jawi.
(net)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar