Sejarah Hidung Belang: Kisah Tragis Percintaan Putri Pejabat Kompeni

JP Coen

TRANSKEPRI.COM,  Marah dengan perilaku nekat putri angkatnya yang menyambut cinta seorang perwira muda VOC, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen memberlakukan hukuman mati yang brutal. Sebelum dieksekusi, hidung sang pemuda dicoret dalam bentuk belang-belang.

Penulis: Hendi Jo


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah hidung belang merujuk kepada para lelaki yang memiliki perilaku suka mengganggu perempuan. Biasanya jenis lelaki seperti ini tak lepas dari hubungan perkelaminan atau istilah anak muda sekarang: penjahat kelamin.

Entah sudah berapa ratus juta kali, kata itu disebut orang-orang kita dari dahulu hingga sekarang. Yang pasti jarang orang bertanya: ada hubungan apa antara hidung, belang, dan hobi suka mengganggu perempuan?
Alwi Shahab menyebut istilah hidung belang berasal dari sebuah kejadian di tahun 1629. Saat itu, Batavia tengah digegerkan oleh sebuah skandal yang melibatkan dua pasangan sejoli: Sara Specx dan Pieter J. Cortenhoeff.

"Sara atau sering dipanggil dengan nama Saartje merupakan putri pejabat VOC yang bernama Jaques Specx dengan seorang gundiknya yang berkebangsaan Jepang," tulis Alwi dalam bukunya Robin Hood Betawi.
Kisah Cinta dengan Calon Perwira Muda
Begitu lahir, Sara kecil dititipkan sang ayah kepada Jaan Pieterzoon Coen, yang tak lain adalah Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Lelaki asal Hoorn, Belanda tersebut lantas menjadikan Sara sebagai anak angkat dan menyerahkan pengasuhannya kepada sang istri: Eva.

Memasuki usia 13 tahun, Sara tumbuh bak mawar yang baru mekar. Wajah cantiknya nan menawan, menyiratkan perpaduan antara Barat dan Timur. Tidak aneh jika saat itu Sara bukan hanya dikenal di kalangan para sinyo tapi juga menjadi buah bibir dan dambaan para calon perwira muda VOC. Salah satu calon perwira yang tergila-gila itu bernama Pieter J. Cortenhoeff.
Penulis Tjoa Piet Bak menyebut Pieter sebagai prajurit muda penjaga kastil (de vaandrig van de kasteelwacht) yang memiliki wajah tampan rupawan. Bisa jadi karena ketampanan itu, menjadikan Sara tertarik pula kepada Pieter. Singkatnya, cinta Pieter tak bertepuk sebelah tangan.

"Mereka lantas menjalin sebuah hubungan percintaan diam-diam," tulis Tjoa dalam Sara Specx, sebuah roman sejarah yang pertama kali diterbitkan di Bandung pada 1926 itu.
Si Tuan Jangkung Murka
Kendati dijalani secara rahasia, tak ayal telik sandi Gubernur Coen mencium juga hubungan tersebut. Pada mulanya, dia memang tak percaya pada laporan para telik sendinya. Namun ketika suatu hari, dia memergoki sendiri Sara dan Pieter sedang 'berdua-duaan' di salah satu ruang kastil. Maka beranglah Si Tuan Jangkung (sebutan orang Betawi kepada Coen).

Coen wajar menjadi berang. Sebagai seorang Kristen aliran Calvinis yang fanatik, dia sangat membenci segala hal yang berbau kecabulan. Tidak cukup dalam wacana pribadi, kebencian itu lantas dia buat sebagai sebuah peraturan.
Dalam bukunya yang berjudul Persekutuan Aneh, Leonard Blusse menyebut soal ini sebagai sebuah ketentuan yang mengikat bagi pegawai-pegawai VOC, terutama di Batavia.

"Sejak mendirikan pemukiman-pemukiman Eropa di Batavia, pemerintah VOC berupaya menghilangkan jiwa gelandangan dan kecabulan. Hingga hukuman yang kejam dan peraturan yang keras merupakan praktek yang lazim berlaku saat itu," tulis Blusse.

Begitu marah dan malunya Coen terhadap kejadian tersebut, hingga dia memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan dua tiang gantungan sekaligus di depan Stadhuisplein (sekarang Gedung Museum Fatahillah Jakarta).

Untunglah, Pengadilan Batavia (Raad van Justitie) dan para pendeta cepat turun tangan dan memutuskan hukuman skandal tersebut harus diputuskan lewat meja pengadilan.
Hidung Pieter dicoreng Belang
Pada 18 Juni 1629, keputusan pengadilan turun: Sara dijatuhi hukuman cambuk dan Pieter dijatuhi hukuman pancung. Sehari kemudian, Sara diseret ke arah pintu gerbang balaikota Batavia.

Setelah dilucuti seluruh pakaiannya, para algojo tanpa peduli akan jeritan memilukan dari remaja itu, mendera kulit halus Sara dengan puluhan kali cambukan. Pemandangan keji itu konon terjadi di hadapan ratusan orang.

Setelah Sara menjalani hukumannya, giliran Pieter yang digiring ke muka Stadhuisplein. Setelah diikat dalam sebuah tiang pancang, leher remaja 17 tahun itu langsung dipenggal. Namun, sebelumnya para algojo mencoreng moreng wajah Pieter dengan arang. Itu dilakukan bisa jadi sebagai bentuk 'penghinaan' khas terhadap seorang pelaku kecabulan.

Ketika kepala Peiter menggelinding ke tanah, orang-orang Betawi melihat bagian hidungnya belang-belang akibat aksi coreng moreng yang dilakukan para algojo kompeni tersebut.
Sejak itulah, kata "hidung belang" menjadi stereotipe masayarakat Betawi untuk lelaki cabul. Ratusan tahun kemudian, dua kata itu terus diwariskan lewati bibir ke bibir hingga kemudian menyerap dalam bahasa Indonesia yang kita pergunakan sehari-hari saat ini. Jadilah istilah hidung belang identik dengan prilaku cabul kaum lelaki.
(mrdk)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar