OPINI

Pilkada Menang Lawan Kotak Kosong

Pilkada Serentak 2020

Oleh: Chaidar Rahmat

Pemerhati politik dan Pemerintahan Kepri.


Judul tulisan ini walau logis namun kesannya sangat tidak menarik, kalau tidak disebut buruk. Ya iyalah, logis sebab bukan setaranya si paslon tunggal dengan si kotak kosong. Dari sisi apapun di tahapan kontestasi maupun dalam perspektif apapun yang dipakai, tetap saja potensi dan peluang si paslon tunggal lebih besar dibanding si kotak kosong. Akan menjadi menarik judul tulisan ini jika misalnya dibuat sebaliknya. 

“Langkah dan upaya penggalangan suara memenangkan kotak kosong”. Namun judul seperti ini akan mudah dituding provokatif. Terlebih jika telah memasuki masa kampanye 26 september hingga 5 Desember. Mengkampanyekan “si Kotak Kosong, ”adalah perbuatan melawan hukum pelanggaran kampanye junto Golput yang dapat dijerat dengan ancaman 3-6 tahun pemidanaan pemilu. 

Pernyataan memenangkan si Kotak Kosong juga sarat sarkasme, ironis yang seolah menyindir rendahnya kualitas kebijakan pada sistem politik dan demokrasi pemilihan yang penuh carut marut. Judul seperti itu sama halnya mengusik segelintir elit di pusaran parpol yang sedang dipuncak klasemen menikmati kemewahan, oligarki kekuasaan mendapat laba berlipat ganda terhadap pasar agregasi mandate rakyat yang nyaris monopoli. 

Si kotak kosong tidak saja memamerkan kosongnya demokrasi berbasis substansi nilai-nilai suksesi sehat berkompetisi, tetapi justru semakin mengukuhkan formalitas demokrasi melalui jenjang birokrasi rekomendasi dan persetujuan dari pemilik kekuasaan oligarki partai. Untuk itulah judul yang tak menarik di atas memungkinkan bisa lebih leluasa membentangkan maksud dan tujuan penulisan mempersoalkan si Kotak Kosong yang bakal banyak kalahnya melawan si Paslon Tunggal.

Pilkada serentak 2018 lalu konon hanya terdapat 16 Paslon Tunggal melawan si kotak kosong dari 171 pilkada yang di gelar untuk Gubernur, Bupati dan Walikota se Indonesia.  Itu artinya kurang dari 10%.  Desember 2020 nanti, lembaga Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) memperkirakan lebih dari 31 Daerah dengan Paslon Tunggal versus si Kotak Kosong dari 270 Daerah yang menggelar Pilkadasung Gubernur, Bupati/Walikota. Ini artinya kisaran 11,48%. Meski terjadi sedikit peningkatan dibanding 2018

Namun bagi pemerhati, ratio baku penyimpangan (standard deviasi) melebihi 10% dari distribusi kenormalan demokrasi kontestasi akan dianggap sebagai batas toleransi adanya symphton patalogi system politik dan demokrasi, sebab demokrasi adalah satu kesatuan yang tak terpisah dari dan untuk yang diyakini sebagai vox populi vox dei (suara rakyat, suara Tuhan). Kontestasi dalam pasar global persaingan sempurna ialah mendapatkan mandate suara rakyat.

Sejarah pertama pemilihan Kepala Daerah sejak reformasi diselenggarakan tahun 2005-2006 silam, saat itu sebagian besar pilkada diikuti lebih dari dua pasang calon yang berkompetisi. Banyak daerah dengan paslon peserta memenuhi jumlah maksimum hingga enam pasang calon, karena saat itu syarat dukungan parpol 15% bahkan tak sedikit yang lebih dari enam pasang dikarenakan lolosnya paslon dari jalur independent yang ikut berkompetisi. 

Apakah yang menyebabkan begitu semaraknya pilkada di era 2005-2006 yang ditandai banyaknya paslon peserta pilkada dan tidak ada sama sekali pilkada dengan Paslon Tunggal melawan kotak kosong ? ya, tentu selain dikarenakan persyaratan dukungan parpol yang hanya 15%, bahkan dengan ketentuan pembulatan keatas yang membolehkan 14,5% dianggap cukup, juga yang terpenting adalah birokrasi dukungan parpol cukup di tandatangani oleh Ketua dan Sekretaris partai tingkat Kabupaten/kota untuk pilbup/pilwako, atau Provinsi untuk Pilgub. 

Saat itu sama sekali tidak diperlukan rekomendasi atau persetujuan dari Dewan Pimpinan Pusat parpol yang mesti ditandatangi oleh Ketua Umum dan Sekjen DPP sebagai syarat pencalonan Bupati/Walikota maupun Gubernur. Barulah ketika dilakukan ferivikasi persyaratan bacalon menjadi calon, KPUD melakukan ferivikasi ke DPP di Jakarta untuk keabsahan dan legalitas kepengurusan parpol khususnya Ketua dan Sekretaris yang menandatangani berkas pencalonan dukungan parpol. 

Regulasi persyaratan pilkada dengan demikian benar-benar sejalan dengan semangat reformasi ketika itu, yaitu desentralisasi kewenangan parpol di daerah untuk memutuskan calon yang diusung dan penentuan ambang batas dukungan yang relatif kecil hanya sebesar 15% ekuivalen kursi maupun jumlah suara yang diperoleh parpol hasil pemilu 2004. Regulasi persyaratan pilkada yang demikian sangat penting karena menghilangkan salah satu faktor penyebab timbulnya distorsi dalam proses recruitment, seleksi dan pencalonan figure-figur yang dikenal dengan istilah “Mahar Politik”. 

"Ketika itu nyaris tidak ada mahar yang harus dikeluarkan oleh paslon kalau tidak dinyatakan relative sangat kecil nilainya yang semata-mata untuk “kurs mata uang lokal", kebutuhan konsolidasi terbatas parpol mendukung paslon yang diusung. Suasana pilkada tahun 2005 saat itu benar-benar terasa seperti kontestasi persaudaraan antar putera terbaik daerah yang berkompetisi secara fair, sehat dalam “pasar persaingan sempurna”. 

Saya merasakan langsung suasana pilkada seperti ini ketika kamis tanggal 30 Juni 2005 digelar Pilkada pertama pemilihan Bupati Bintan. Saat itu terdapat 6 (enam) pasang calon :

1. Sudirman Almon – Kazalik yang didukung PAN, PDK dan PPP dengan 5 kursi atau 20%.

2. Ansar Ahmad – Mastur Taher yang didukung Golkar, PKS dengan 8 kursi atau 32%.

3. Hardi S. Hood – DJ. Zakaria yang didukung PDIP dengan 5 kursi atau 20%.

4. Andi Rivai – Ahmad Mipon yang didukung P.Demokrat, PBSD dan PDS dengan 4 kursi atau 16%.

5. Andi Anhar – Said Robert yang didukung Patriot.P, PKB, PBBB, PSI dengan 3 kursi, namun konversi suara sebesar 14,83%.

6. Alias Wello – Andi Masdar P yang didukung 10 parpol non kursi yang dikonversi suara total sebesar 15,01%.


Saat penyusunan dukungan parpol memenuhi ambang batas pencalonan 15% itu nyaris semua paslon dan semua ketua berikut sekretaris parpol saling berkomunikasi duduk bermusyawarah menentukan dan membagi besaran dukungan parpol agar tercukupi untuk ke enam paslon.

Semua proses ini sepenuhnya dilakukan dan ditentukan sendiri oleh Dewan Pengurus parpol di tingkat Kabupaten Bintan, tanpa campur tangan dari Dewan pengurus tingkat Provinsi, apalagi dari Dewan Pimpinan Pusat di Jakarta. Proses tersebut kadang dimediasi dan difasilitasi oleh Komisioner KPUD setidaknya untuk memasok informasi parpol terkait data perolehan suara maupun by name by adres seluruh parpol peserta pemilu. 

Situasi persaudaraan antar paslon dan parpol kala itu tentu masih diingat oleh Apri Sujadi yang saat itu adalah Anggota Komisoner KPUD Bintan, dan sekarang menjadi Bupati Bintan incumbent yang bakal menjadi “Paslon Tunggal” saat ditetapkan tanggal 23 September 2020 nanti. 

Demikian juga Alias Wello Bupati Kabupaten Lingga yang sekarang berkeinginan ikut kontestasi di Pilkada Bintan 9 Desember nanti besar kemungkinan gagal memenuhi quota persyaratan, karena Cuma mendapat dukungan 4 kursi (16%) dari 5 kursi atau 20% yang dipersyaratkan. Dari 7 (tujuh) parpol yang memiliki kursi di DPRD atau total 21 kursi semuanya sudah diborong mendukung calon incumbent. 

Sedangkan 11 parpol lain peserta pemilu yang tak memiliki kursi, jumlah perolehan suaranya secara akumulatif hanya kisaran 18%, maka sangatlah mungkin Alias Wello akan memberikan estafet perlawanan untuk kontestasi pilkada Bintan kepada si "Kotak Kosong" untuk melawan si paslon tunggal.

Jika memang Pilkada Bintan nanti benar-benar kompetisi antara si paslon tunggal dengan si kotak kosong, lalu adakah hal yang melanggar regulasi atau mencurangi aturan perundang-undangan ?  Jawabnya tentu saja tidak. Sebab Peraturan Komisi Pemilihan Umum atau KPU Nomor 13 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum nomor 14 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan satu pasang calon.

Justru hal demikian akan memberikan dasar terhadap payung hukum untuk bagaimana prosedur tatacara dan mekanisme dan tahapan yang digelar KPU untuk kontestasi antara si paslon tunggal melawan si kotak kosong. Namun sebagaimana maksud dan penjelasan diatas, sudah setarakah kontestasi antara si Paslon tunggal dengan si Kotak Kosong, sudah cukupkah suasana kompetisi dalam persaingan “pasar” pemilihan yang adil dan terbuka untuk paslon tunggal maupun si kotak kosong ? Ditahapan pencalonan misalnya, sesuai PKPU Nomor 13/2018 pengesahan calon peserta ditandai dengan pengundian nomor peserta diganti dengan penentuan tata letak foto si paslon tunggal dan si kotak kosong.

 Lalu siapa yang mewakili mengambil undian untuk si kotak kosong ? Jika si paslon tunggal membentuk Tim Kampanye dan Relawan yang tersusun secara hirarki hingga ke TPS-TPS, maka tidak demikian halnya dengan si Kotak Kosong. Sebab sesuai ketentuan berkampanye bukankah tidak dibenarkan dan menjadi pelanggaran hukum pemilu jika ada orang atau sekelompok orang yang tanpa hak dan kewenangan atas dasar mandat dari paslon atau parpol pendukung untuk menggelar kampanye, meyakinkan pemilih untuk memenangkannya di pilkada.

Meskipun kondisi seperti ini bisa dianggap kentungan juga bagi si kotak kosong karena menihilkan kemungkinannya melakukan kecurangan yang berakibat fatal hingga menggugurkan pencalonan si kotak kosong. Lalu di tahap pemilihan dan penghitungan suara, bagaimana caranya menggerakkan warga pemilih si kotak kosong untuk menggunakan hak pilihnya dan mendorong partisipasi penuh warga pemilih si kotak kosong.

Demikian juga untuk fungsi dan peran saksi baik untuk keabsyahan atau membatalkan hasil coblosan surat suara, pihak manakah yang dibolehkan untuk dan mengatas namakan perwakilan atau saksi dari si kotak kosong termasuk dalam penghitungan suara di TPS dan Rekap-rekapnya di setiap jenjang penghitungan suara ? Lalu, diujung akhir tahapan pilkada jika seandainya terjadi perselisihan hasil perhitungan suara yang merugikan si kotak kosong, lalu siapa dan cara bagaimana melalukan gugatan sengketa tersebut di Mahkamah Konstitusi ? 

Kondisi-kondisi seperti inilah yang hampir dipastikan kesetaraan kontestasi dan keadilan dalam kedudukan yang sama dalam berkompetisi nyaris tidak didapatkan si kotak kosong sehingga dengan mudahnya dikalahkan oleh si paslon tunggal.

KPU sebagai penyelenggara tentu diharapkan memahami semua ketidak setaraan dan keadilan dalam kedudukan berkompetisi ini dalam pasar persaingan yang tidak sempurna. Maka adalah beda dengan saudara kembaran KPU, yakni KPPU atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang dibentuk berdasarkan PP untuk menjalankan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang tidak sehat. Agaknya motif dan rasional ekonomis masih lebih unggul dan maju ketimbang sistem politik dan demokrasi pemilihan. (***)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar