Surat Yasin Ayat 30-31: Belajar dari Kisah-Kisah Terdahulu
Surat Yasin ayat 30-31 mengingatkan akan pentingnya mengambil hikmah kisah-kisah terdahulu. Dua ayat ini menyinggung orang-orang yang mengolok-olok para utusan Allah SWT dan endingnya mereka menyesal di akhirat.
Pada ayat sebelumnya, Surat Yasin 28-29 mengulas bagaimana kaum Antokiah akhirnya dibinasakan oleh Allah cukup dengan sekali teriakan, mereka pun mati seketika. Tanpa perlu menurunkan bala tentara-Nya untuk menyiksa kaum tersebut. Ini sebagai bentuk kehinaan kepada kaum yang congkak padahal mereka begitu kerdil dihadapan Allah.
Baca juga: Surat Yasin Ayat 28-29: Satu Teriakan Menghabisi Penduduk Antokiah
Allah berfirman:
يٰحَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِۚ مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ
اَلَمْ يَرَوْا كَمْ اَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِّنَ الْقُرُوْنِ اَنَّهُمْ اِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُوْنَ
Alangkah besar penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya.
Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan. Orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tidak ada yang kembali kepada mereka. ( QS Yasin : 30-31 )
Laman Tafsir Al-Quran menjelaskan secara umum dua ayat ini menyinggung orang-orang yang mengolok-olok para utusan Allah SWT dan ending-nya akan menyesal di akhirat. Seharunya mereka belajar kepada kaum-kaum terdahulu yang telah dibinasakan karena kasus yang sama, dan menyadari kalau mereka itu tidak bisa kembali untuk menebus kesalahannya.
Menurut Imam al-Wahidi dalam "Tafsir Al-Basith", kata hasratan menunjukkan penyesalan yang besar bagi setiap hamba, dan penyesalan ini akan dirasakan kelak di akhirat.
Penyesalan yang dimaksud adalah hadirnya para utusan yang membawa risalah saat di dunia, namun mereka cemooh, bahkan mereka ingkari, sebagaimana dikutip dari Ibnu Katsir dalam "Tafsir al-Qur'an al-aẓim".
Terkait kata ini, ada dua riwayat yang dinukil oleh Thabari dalam tafsirnya, pertama riwayat dari Qatadah, ia berpendapat bahwa perkara yang mereka sesali adalah menelantarkan perintah-perintah Allah. Sedangkan riwayat kedua dari Mujahid, bahwa penyesalan mereka adalah mengolok-olok para utusan-Nya.
Quraish Shihab dalam "Tafsir Al-Misbah" menyebut huruf ya’ yang menyertai kata tersebut berfungsi sebagai pengundang mitra bicara, yang dalam konteks ayat ini adalah ‘Ibad (hamba-hamba).
Seyogyanya sebagai hamba mereka harus menyambut panggilan/seruan ilahi yang dibawa oleh para Rasul, namun mereka malah menampiknya, maka wajar apabila mereka merasa sangat menyesal.
Baca juga: Surat Yasin Ayat 26-27: Pesan Damai Habib al-Najjar saat Dirajam
Sedangkan menurut al-Thabari dalam "Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an", ayat 31 ditujukan kepada kaum kafir era Nabi Muhammad, di mana Allah ingin menyatakan kepada mereka agar mau mengambil pelajaran dari nenek moyang mereka yang telah diazab terlebih dahulu.
Terlebih lagi kata kam ahlakna menurut Ibnu ‘Ayur dalam “al-Tahrîr wa al-Tanwîr” menunjukkan makna jumlah al katsrah, yakni sudah banyak peristiwa serupa terjadi pada masa lampau, seperti yang terjadi pada kaum ‘Ad, Tsamud, dan sebagainya.
Namun Dr. Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menilai ayat ini tidak hanya berfokus pada era Nabi Muhammad, menurutnya kata al-Qurun dalam ayat ini bermakna al-umam yang berarti umat-umat. Ini mengindikasikan bahwa ayat ini tidak hanya ditujukan – sebagai pelajaran – kepada orang kafir dimasa Nabi, namun juga kepada generasi-generasi setelahnya (sampai sekarang) agar tidak lupa terhadap sejarah umat masa lalu yang telah diceritakan al-Quran sehingga dapat mengambil pelajaran darikisah tersebut.
Sedangkan kata yarji’un berasal dari akar kata ra-ja-‘a, yang berarti kembali. Zamakshyari dalam Tafsir al-Khasysyaf memahami kata ini secara utuh sebagai kesatuan ayat bahwa, tidakkah mereka menyadari betapa banyak kami sudah membinasakan kaum-kaum yang ingkar dari tiap generasi (umat) sebelum mereka dan kondisi mereka tidak bisa kembali kepada para Rasul itu.
Zamakhsyari juga menegaskan bahwa ayat ini sekaligus menjadi argumen untuk ahl raj’ah, yakni kaum yang menganggap adanya hari kebangkitan sebelum terjadinya kiamat. Mufassir lain seperti Wahbah Zuhaili dan Ibnu Katsir menyebut kaum ini dengan al-Duhriyyah, yang merujuk pada firman Allah dalam QS al-Jissiyahayat 24 :
وَقَالُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ اِلَّا الدَّهْرُۚ وَمَا لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍۚ اِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ
Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.
Adapun al-Biqa’i cenderung memahami kata yarji’un dalam arti bertaubat atas kedurhakaan mereka dan kembali kejalan yang benar dengan mengikuti para Rasul. Menurutnya, kata yarji’un ini mirip dengan ayat dalam QS as-Sajdah ayat 21 ;
وَلَنُذِيْقَنَّهُمْ مِّنَ الْعَذَابِ الْاَدْنٰى دُوْنَ الْعَذَابِ الْاَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Dan pasti Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Tulis Komentar