Marak Baliho Tokoh Politik: Tak Punya Sense of Crisis atau Telanjur Teken Kontrak?

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan. Foto/Istimewa

TRANSKEPRI.COM, JAKARTA - Keberadaan baliho tokoh politik di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini menyedot perhatian banyak pihak. Ada yang mengkritisi, tak sedikit yang membela.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan pun mengakui bahwa pemasangan baliho-baliho yang masif itu terkesan tidak tepat di masa pandemi Covid-19 sekarang ini. Sejak Juni 2021, kata dia, kasus Covid-19 di Tanah Air menghantam keras sistem kesehatan maupun ekonomi masyarakat.

Sehingga, tokoh-tokoh yang ada di berbagai baliho itu dinilai tidak punya sense of crisis atau kepekaan dalam menghadapi krisis oleh sebagian besar masyarakat. Sejumlah tokoh itu juga dianggap seperti kurang empati dengan penderitaan sakit dan ekonomi masyarakat.

"Tetapi, dugaan saya, para tokoh yang memasang baliho itu bukan tidak mengerti bahwa baliho-baliho itu bisa dipersepsi negatif. Kalau kita perhatikan, baliho-baliho tersebut, kecuali punya AHY, itu mulai bermunculan sekitar April dan Mei," ujarnya kepada SINDOnews, Sabtu (7/8/2021).

Dia menambahkan, diketahui bahwa kasus Covid-19 tampak mulai landai pada bulan April dan Mei lalu. "Dan kasus per hari sempat mencapai angka yang relatif rendah, 4 ribuan. Ini diikuti juga dengan tampak makin lebarnya ekonomi dibuka, bahkan ada rencana untuk segera membuka sekolah-sekolah untuk tatap muka kembali," katanya.


Dia menduga pemerintah maupun para tokoh tersebut tidak punya antisipasi kalau Indonesia akan dihantam gelombang kedua pandemi Covid-19 yang berbentuk gelombang tsunami akibat longgarnya pembatasan sosial di musim liburan berbarengan dengan mengamuknya varian delta.

"Jadi mungkin saja, di bulan-bulan April dan Mei itu, para tokoh ini sudah telanjur meneken kontrak untuk pemasangan baliho-baliho tersebut untuk waktu yang cukup lama, minimal sebulan," ungkapnya.


Dia mengungkapkan, pemasangan baliho terutama di tempat-tempat strategis tentu harus menyewa tempatnya, misalnya kepada pemerintah daerah. "Bisa jadi kesepakatan untuk memasang baliho sudah dilakukan dan dibayar, tapi baru saja dipasang, kita mengalami tsunami Covid-19 gelombang kedua yang mengharu biru Indonesia sejak Juli lalu," pungkasnya.(net) 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar