OPINI
Indonesia Menuju Partai Politik Tunggal
Oleh Hersubeno Arief
TRANSKEPRI.COM.JAKARTA- Media negeri jiran The Australian edisi Senin (8/3) menurunkan sebuah artikel menarik. Judulnya: Jakarta Closer to Rule of One Party.
Kekhawatiran Indonesia menjadi negara partai tunggal seperti di Cina dan Korea Utara ini, sesungguhnya sudah sejak lama diingatkan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo.
Saat masih menjadi Panglima TNI, Gatot membungkus pesannya secara tersamar, melalui bahaya proxy war.
Tanda-tanda bahwa pemerintahan Jokowi sedang mendekati sistem pemerintahan partai tunggal itu kini semakin nyata.
Sebagaimana dilansir The Australian, aksi KSP Moeldoko mengambil-alih secara paksa Partai Demokrat merupakan langkah nyata mewujudkan hal itu.
Saat ini partai-partai pendukung pemerintah disebut oleh The Australian telah menguasai 74 persen kursi di parlemen.
Bila sukses mengakuisisi Partai Demokrat pemerintah akan menguasai 83 persen kursi di parlemen. Hanya menyisakan PKS sebagai satu-satunya oposisi di parlemen.
Kalkulasi ini menarik, karena tampaknya The Australian telah memasukkan PAN ke dalam partai pendukung pemerintah.
Bila dihitung dari total 575 kursi di parlemen, kalkulasi ini kurang akurat. Berdasarkan data KPU, pada Pemilu 2019 PKS memperoleh 50 kursi atau 8, 69 persen. Demokrat 54 kursi atau 9, 39 persen.
Bila hanya PKS yang menjadi oposisi, maka total kubu pemerintah menguasai 91, 31 persen kursi di parlemen.
Praktis kubu partai pemerintah sudah menguasai sepenuhnya kursi di parlemen. PKS tinggal menjadi partai oposisi pemanis saja.
(Parliamentary dan Presidential Threshold)
Pertanyaannya sekarang, bagaimana tahapan menuju partai tunggal bisa diwujudkan?
Saat ini kendati sudah menguasai sepenuhnya kursi di parlemen, namun belum bisa disebut sebagai partai tunggal.
Baru konsorsium partai dengan penguasa tunggal. Namun tahapan menuju partai tunggal itu sudah terbayang.
Coba perhatikan beberapa tahapan berikut ini.
Pertama, penetapan presidential threshold 20 persen. Dengan aturan semacam itu sudah bisa dipastikan bahwa capres yang akan tampil pada Pemilu 2024 adalah calon tunggal.
Kalau toh ada dua calon, maka pasangan calon kedua hanyalah boneka.
Model Pilkada Solo 2020 bisa digunakan.
Ada calon walikota yang sudah dapat dipastikan menang, yakni Ghibran putra Presiden Jokowi. Lawannya adalah pasangan Ketua RW dan tukang jahit.
Kedua, Pemilu serentak tahun 2024.
Dengan hanya ada satu capres, maka dapat dipastikan capres yang diusung berasal dari PDIP sebagai pemilik kursi terbanyak (128).
Pasangannya bisa dipilih dari salah satu partai pengusung pemerintah. Silakan diperebutkan.
Dengan sistem pemilu serentak, maka yang akan memperoleh limpahan elektoral atau biasa dikenal sebagai coattail efect adalah pengusung capres. Dalam hal ini PDIP.
Hal ini terbukti pada Pilpres 2019. Hanya ada dua Pasang capres-cawapres. PDIP dan Gerindra yang mengusung capres. Kedua partai ini mendapat limpahan suara terbanyak dan menjadi partai pemenang pertama dan kedua.
Ketiga, menaikkan ambang batas parliamentary threshold.
Saat ini di DPR berkembang wacana menaikkan ambang batas lolos parlemen, atau dikenal dengan istilah parliamentary threshold (PT).
PDIP mengusulkan agar PT dinaikkan dari semula 4 menjadi 5 persen. Sementara Nasdem dan Golkar bahkan call tinggi, menjadi 7 persen.
Dengan mempertimbangkan coattail effect pada pemilu serentak 2024, maka PDIP bisa menang besar.
Apalagi berdasarkan hasil survei terbaru Litbang Kompas, partai-partai yang berada dalam lima besar bakal berguguran.
Elektabilitas Nasdem saat ini tinggal 1.7 Persen. Golkar 3.4 persen. Demokrat 4.6 persen, PKS 5.4 persen, dan PKB tinggal 5.5 persen. Gerindra 9.6 persen.
PDIP masih bertengger di puncak dengan elektabilitas 19.7 persen.
Bila PT dinaikkan menjadi 7 persen, maka yang tersisa tinggal PDIP dan Gerindra. Itupun kalau Gerindra masih bisa mempertahankan suaranya.
Dengan bergabung dalam kubu partai pemerintah, sangat diragukan Gerindra bisa mempertahankan perolehan suaranya seperti pada Pemilu 2019.
Semua skenario itu dapat terwujud bila Jokowi dan PDIP bisa mengendalikan sepenuhnya partai-partai pendukung pemerintah.
Partai-partai pemerintah mendukung apapun keinginan Presiden Jokowi dan PDIP.
Untuk tahap awal Nasdem dan Golkar akhirnya mengalah. Mendukung pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024. Padahal sebelumnya mereka menginginkan ada revisi RUU Pilkada.
Tahapan berikutnya tinggal menaikkan ambang batas lolos parlemen setinggi mungkin.
Skenario partai tunggal bakal terwujud.
Apakah kali ini Golkar, Nasdem, Gerindra dan partai-partai lain juga akan kembali mengalah?
Sejauh ini dengan pola pecah belah, sandera politik, dan iming-iming kekuasaan, pemerintah berhasil menundukkan parpol-parpol menjadi pendukung yang loyal.***
Tulis Komentar