SEJARAH

Tionghoa di Tengah Arus Penyebaran Islam di Nusantara

Masjid Agung Demak. (Wikimedia Commons).

Tionghoa sudah lama hidup sebagai bagian dari masyarakat Nusantara. Bahkan berperan dalam penyebaran Islam.

Sejarah Islam di Tiongkok selaras dengan sejarah Islam di Nusantara. Khususnya yang terjadi pada abad ke 15-16. Masyarakat Tionghoa pun dinilai memiliki peran dalam persebaran Islam ke Nusantara.

“Islam di Nusantara cenderung datang dari Persia dan Arab. Peranan Tionghoa dalam penyebaran Islam di Jawa perlu dipertimbangkan,” ujar Sumanto Al-Qurtubi, pengajar antropologi di King Fahd University of Petroleum & Minerals, dalam Dialog Sejarah berjudul “Arus Tiongkok dalam Penyebaran Islam ke Nusantara” live di Facebook dan Youtube Historia.id, Kamis (18/2/2012).

Permukiman Tionghoa

Komunitas Tionghoa sudah lama hidup sebagai bagian dari masyarakat Nusantara. Bahkan, mereka tinggal di wilayah kerajaan Islam, seperti Samudera Pasai, Banten, kota pelabuhan Jepara, pusat penyebaran Islam Kudus, dan Kerajaan Tayan.

Libra Hari Inagurasi, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mencatat, jejak arkeologi kehadiran masyarakat Tionghoa ditemukan di sepanjang pesisir Pantai Timur Sumatra dari selatan ke utara, Pantai Utara Jawa, dan Kalimantan Barat.

Di Pantai Timur Sumatra, terdapat di Situs Kota Cina (Medan), Samudera Pasai (Aceh Utara), Lamreh, dan Ladong (Aceh Besar). Situs-situs itu berasal dari kisaran abad ke-12 sampai ke-13 dan abad ke-15.

Di Pantai Utara Jawa, titik-titik pengaruh Tionghoa ditemukan di Banten Lama berupa kelenteng, Masjid Pacinan Tinggi yang hanya tersisa menara dan mihrabnya, makam, batu-batu silindris penggilingan tebu, dan toponimi pacinan. Semuanya berada di wilayah Kesultanan Banten.

Di Kalimantan Barat jejak permukiman komunitas Tionghoa ditemukan di wilayah Kerajaan Tayan, Sanggau. Tepatnya di tepi pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Tayan. “Menariknya di tengah Sungai Kapuas ada Pulau Tayan. Ini pulau khusus untuk permukiman Tionghoa. Di situ ada kelenteng,” kata Libra.

Libra menjelaskan, arus kedatangan masyarakat Tionghoa secara dinamis, berkelanjutan dan bertahap. Permukimannya biasanya terletak di kawasan perairan. “Mereka mendarat, bermukim di situ dan membangun usaha. Mereka punya keahlian seperti pengusaha, pembuatan gula, ahli mengukir, memahat, dan ahli bangunan,” kata Libra.

Tersua dalam Sumber Tertulis

Sumanto yang menulis buku Arus Cina-Islam-Jawa, merekonstruksi peran Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara lewat sumber-sumber Tingkok, sumber Arab, sumber lokal, peninggalan masjid kuno, dan kelenteng kuno.

Sumber Tiongkok misalnya catatan Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Laksamana Cheng Ho berlayar ke banyak negeri. Ia mencatat petualangannya dalam Yingya Shenglan yang terbit pada 1416.

Ma Huan mencatat bahwa penduduk di pantai utara Jawa, yaitu di kota-kota pelabuhan, seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu banyak dikunjungi oleh pedagang asing dari Arab, India, Asia Tenggara, dan Tiongkok. Di sana banyak orang Tiongkok dan Arab menetap dan berdagang.

Ma Huan menyebutkan, di kota Majapahit ada sekira 200-300 keluarga yang menetap. Penduduknya terbagi menjadi tiga golongan.

Pertama, orang Arab atau penganut ajaran Muhammad. Kegiatannya berdagang dan menetap di Jawa. Kedua, orang Tangren atau Tenglang, merujuk pada orang Tionghoa yang berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan tinggal di Jawa. Menariknya, banyak dari mereka belajar Islam kepada orang-orang Arab.

“Ma Huan sendiri adalah muslim. Namanya saja ‘ma’, Muhammad Huan, dia ini muslim,” kata Sumanto.

Sumber-sumber lokal, kata Sumanto, juga banyak menceritakan serpihan-serpihan fakta itu. Misalnya, di dalam berbagai tembang dan serat.

Sumber Arab seperti catatan Ibnu Battuta yang mengembara dari kota kelahirannya di Tangier, Maroko, ke berbagai belahan dunia. “Sumber ini saya pakai untuk cross check. Sumber-sumber ini juga bercerita tentang komunitas Tionghoa muslim pada abad 15-16,” kata Sumanto.

Tionghoa Membangun Masjid

Sumanto juga menandai beberapa masjid kuno yang kemungkinan mendapat campur tangan masyarakat Tionghoa. Misalnya, Masjid Agung Demak yang dibangun pada abad ke-15. Soko tatal pada masjid ini dibangun dengan cara yang sama dengan gaya pembuatan tiang di Tiongkok.

“Jadi ada beberapa hal yang ada di Masjid Demak itu sama dengan yang terjadi di Tiongkok pada masa Dinasti Ming (1368–1643),” kata Sumanto.

Begitu juga Masjid Sekayu di Semarang yang dibangun pada abad yang sama. Pada belandar masjid ini ditemukan kaligrafi Tionghoa. “Diduga masjid itu dibuat oleh orang-orang Tionghoa muslim,” kata Sumanto.

Ada juga Masjid Mantingan di Jepara, Jawa Tengah, yang dibangun pada abad ke-16. Tokoh muslim Tionghoa, Liem Mo Han (Babah Liem) dikenal sebagai arsitek masjid ini. “Di Jakarta, sepertinya juga ada dua masjid,” kata Sumanto.

Sumanto juga merujuk pada kelenteng-kelenteng kuno yang kontroversial karena dianggap awalnya masjid kemudian dialihfungsikan menjadi kelenteng. Di antaranya adalah Kelenteng Mbah Ratu di Surabaya dan Kelenteng Talang di Cirebon.

“Itu kelenteng-kelenteng tua yang dibangun sebelum masa kolonial. Kelenteng Talang di Cirebon, misalnya, didesain seperti masjid bukan seperti kelenteng,” kata Sumanto.

Tokoh Tionghoa Muslim Terkenal

Selain masjid, makam menjadi petunjuk keberadaan tokoh Tionghoa muslim. Seperti makam Ki Telingsing di Kudus. “Ada yang bilang ini teman Sunan Kudus, tradisi lokal bilang begitu,” kata Sumanto.

Di Bali dikenal tokoh penyebar Islam bernama Kwan Pao-Lie. Ia dianggap sebagai salah satu dari tujuh wali (wali pitu) dalam tradisi Islam di Bali.

Lalu ada Babah Bantong di Cirebon yang dihormati. “Pram mengajukan tesis menarik, bahwa Sunan Kalijaga menurutnya adalah Putra Brawijaya, raja Majapahit dari seorang putri Tiongkok muslimah bernama Retna Subanci, putri Babah Ba Tong,” kata Sumanto.

Masyarakat di Salatiga, khususnya di daerah Kalibening, mengaitkan sejarah Islamisasinya dengan tokoh bernama Lie Beng Ing.

Kemudian ada juga Tan Hong Tien Nio atau populer dengan sebutan Putri Ong Tien. Ia merupakan istri Sunan Gunung Jati, pelopor dan penggerak Islam di Cirebon dan wilayah Jawa Barat.

Islam Lebih Dulu Masuk Tiongkok

Menurut Sumanto, tidak mengherankan jika orang Tiongkok memiliki peran dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Sebab, Islam lebih dulu masuk ke Tiongkok ketimbang ke Nusantara.

Kanton adalah pusat keislaman tertua di Tiongkok. Bahkan, menurut sejarawan ahli Tiongkok, masjid paling awal di Kanton adalah masjid tertua kedua di dunia setelah di Madinah.

“Setelah Nabi Muhammad membangun Masjid Nabawi di Madinah, masjid di Kanton dibangun. Aspek sejarah keislaman di sana sangat tua,” kata Sumanto.

Hubungan Tiongkok dengan dunia Islam, khususnya jazirah Arab, sudah berlangsung lama. Keduanya dihubungkan oleh perdagangan di Jalur Sutra. Hubungan ini terus berlanjut pada era Nabi Muhammad.

“Saya menduga hadis ‘tuntutlah ilmu ke negeri Cina’ punya relevansi sejarah yang sangat kuat, meski ada yang bilang ini hadis dhaif (lemah),” kata Sumanto.

Masa kenabian Muhammad pada abad ke-7 bertepatan dengan era Dinasti Tang. Ini adalah puncak kemajuan peradaban dan kebudayaan Tiongkok.

“Banyak masyarakat di luar Tiongkok diminta belajar beragam hal berkaitan dengan Tiongkok,” kata Sumanto. “Di sana pun disediakan tanah khusus bagi orang Arab, Persia. Dari situ berkembang keislaman Tiongkok.”

Ditambah lagi setelah Dinasti Abbasiyah runtuh diserang tantara Mongol. Arsitek dan banyak ilmuwan dalam berbagai bidang dari wilayah dinasti itu diboyong ke Tiongkok. “Ini bersamaan dengan pendirian Dinasti Yuan [1279-1368]. Banyak tenaga ahli muslim bekerja di Yuan,” kata Sumanto.

Keislaman di Tiongkok mulai memudar pada era Dinasti Qing (1644–1911) atau Dinasti Manchu. “Rezim berganti, dari pro-muslim ke anti-muslim,” kata Sumanto.

 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar