TRANSKEPRI.COM.JAKARTA- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR terkait adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap gugatan UU Pilkada. Hal itu sesuai dengan perintah UU dan putusan DKPP.
Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik menyampaikan jika DKPP pernah memutuskan KPU melanggar kode etik lantaran menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka tanpa berkonsultasi ke DPR dan pemerintah. Idham memastikan saat ini, KPU akan melakukan konsultasi lebih dulu mengenai tindak lanjut terhadap putusan MK.
"Dahulu dalam pertimbangan etik Putusan DKPP atas pelanggaran etik KPU RI yang telah menerima bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden tahun 2024 sebagai tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, KPU diwajibkan konsultasi dengan pembentuk UU terlebih dahulu sebelum melaksanakan perubahan aturan teknis pasca Putusan MK tersebut," kata Idham kepada wartawan, Selasa (20/8/2024).
Diketahui, ada empat laporan kepada DKPP mengenai pencalonan Gibran saat itu. Pelapor adalah Demas Brian Wicaksono (Perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023), Iman Munandar B. (perkara Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023), PH Hariyanto (perkara Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023), dan Rumondang Damanik (perkara Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023).
DKPP pun memutuskan jika KPU melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Sanksi yang dijatuhkan berupa peringatan keras terakhir.
Putusan MK
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
Putusan terhadap perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora itu dibacakan dalam sidang di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8). Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.
MK mengatakan esensi pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 32/2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya. MK mengatakan pembentuk UU malah memasukkan lagi norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dalam pasal UU Pilkada.
MK kemudian menyebut inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada itu berdampak pada pasal lain, yakni Pasal 40 ayat (1). MK pun mengubah pasal tersebut.
Adapun isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada sebelum diubah ialah:
Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
MK pun mengabulkan sebagian gugatan. Berikut amar putusan MK yang mengubah isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada:
Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut. (*)
Tulis Komentar