TRANSKEPRI.COM.BATAM- Berjalan ribuan kilometer adalah hal yang lumrah dan harus dilakukan bagi para biksu atau bhante pada ritual Thudong dalam ajaran Buddha.
Salah satunya ialah bhante asal Indonesia yakni Wawan atau kerap disapa Bhante Kantadhammo yang melaksanakan Thudong di empat negara Asia tahun 2023. Dimulai dari Thailand, Malaysia, Singapura, dan berakhir di Candi Borobudur Indonesia pada Jumat (02/06) mendatang.
Bhante Wawan adalah satu-satunya bhante yang berasal dari Indonesia pada Thudong kali ini. Untuk pertama kalinya pula, ritual Thudong dilakukan di Tanah Ibu Pertiwi dan tentunya menjadi sejarah dalam perjalanan para bhante.
"Ini pertama kali di Indonesia. Dari Indonesia saya sendiri. Tapi ada satu orang umat yang ikut juga," katanya ketika ketika tiba di Kota Batam, Indonesia.
Pria kelahiran Cirebon 1970 silam itu mengungkapkan, Pemilihan Indonesia sebagai tujuan akhir itu adalah kesepakatan bersama. Hal itu karena nantinya puncak dari Thudong di Indonesia ini dijadwalkan akan ada di Candi Borobudur bertepatan dengan perayaan Waisak.
Selain itu, pemilihan Thudong di Indonesia kali ini ternyata menarik minat banyak bhante dari berbagai negara. Pasalnya, Thudong juga merupakan tradisi sekaligus perjalanan spiritual yang sakral bagi pengikut Buddha. Oleh karena itu, tak sedikit pula bhante yang berlomba-lomba untuk melaksanakannya.
Terlebih, perjalanan itu baru bisa dilaksanakan pada tahun ini karena Pandemi COVID-19 mulai mereda.
"Tidak ada batasan mau berapa orang saja sekali jalan. Namun kali ini kita batasi karena bisa sampai 100 orang. Kemarin dari Srilanka, australia, dan laos juga ingin ikut," lanjutnya.
"Saya memilih di sini karena saya orang indonesia. Dulu pernah berencana di indonesia karena COVID," ucap Bhante Wawan.
Pelaksanaanya Thudong tidak sembarang waktu. Pada musim hujan, para biksu dilarang untuk melakukan Thudong. Akan tetapi, selesai musim hujan, mereka dapat melanjutkan perjalanannya.
"Biasanya para biksu hutan lakukan ini semaunya kita aja. Yang penting dalam masa wasa atau musim hujan, kita harus menetap di satu vihara. Dilarang keluar dan melakukan perjalanan," jelasnya.
Rintangan dan Makna Thudong
Thudong bukan sekedar perjalanan biasa. Perlu kesiapan mental dan fisik yang cukup untuk menyelesaikan ritual keagamaan itu. Oleh karenanya, tidak semua bhante dapat melaksanakan Thudong.
Di sisi lain, kondisi cuaca ekstrem yang melanda berbagai belahan dunia termasuk Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri bagi para bhante.
"Sekarang mungkin sudah 1000 kilometer lebih dengan jalan kaki, tinggal di hutan, dan makan hanya sekali dalam sehari. Makanya dari awal sampai sekarang ada yang tidak bisa. Jam makannya, pagi sampai 12 siang," ungkapnya.
Namun, hal itu tak menyurutkan semangat mereka dalam melaksanakan Thudongnya. Setapak demi setapak jalan di tiap-tiap negara ia jajaki dengan 31 bhante lainnya. Tak jarang pula, barisan para bhante dengan jubah serba oranye itu mencuri perhatian warga sekitar.
Bhante Wawan mengaku, mendapatkan respon yang positif dari setiap orang di negara yang mereka lewati. Hal itu dinilai datang dari rasa toleransi yang tinggi serta saling menghargai. Bahkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan pengikut Buddha.
"Kita diundang oleh Habib Luthfi untuk ke rumahnya. Respon masyarakat justru banyak yang sangat mendukung. Bahkan negara muslim pun welcome ke kita. Artinya toleransi mereka sangat tinggi," ungkapnya.
Melalui Thudong pula, para bhante menggambarkan pesan kesederhanaan dan kegigihan dalam menjalankan ajaran Buddha. Mulai dari cara hidup, gaya, hingga sikap dalam kehidupan sehari-hari.
"Ini juga melambangkan kesederhanaan. Kita jaga tradisi kebiksuan. Tidak memegang uang, tidak terima uang, kalau pun ada bukan untuk pribadi tapi disalurkan lagi bagi yang membutuhkan," katanya.
Ia berharap, Thudong kali ini akan lancar hingga selesai dan dapat kembali melaksanakan Thudong di Indonesia. (adri)
Tulis Komentar