JEJAK PEMBANGUNAN WARGA TIONGHOA BATAM

Herman Thio Pejuang Dwikora dari Batam (1)

Herman Thio

Oleh: Muhammad Riza Fahlevi

Doakan aku!
Aku bakal berangkat ke medan djuang 
sebagai patriot Bangsa, 
sebagai martir Bangsa 
dan sebagai peluru Bangsa 
yang enggan diindjak-indjak harga dirinja!

Pesan penuh semangat ini saya kutip dari pidato Presiden Soekarno yang diakhiri sebuah kalimat yang populer hingga saat ini: 

Joo... ajoo... 
kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia

Kemurkaan Soekarno ini adalah buntut dari peristiwa 17 September 1963, saat demonstrasi anti-Indonesia "membakar" Kuala Lumpur. 

Para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Sukarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia kala itu, dan memaksanya untuk menginjak Garuda. 

Demonstrasi ini pun sebenarnya merupakan akumulasi kemarahan rakyat Malaysia atas serangan milisi Indonesia di Sabah dan Serawak, selepas Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio, mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963, lalu.  

Setelah pidato Ganyang Malaysia tersebut berkumandang, tahun 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). 

Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin Laksdya Udara Omar Dani, yang terdiri dari tiga Komando Tempur, yaitu Komando Tempur Satu berkedudukan di Sumatera dengan sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris.

Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dipimpin Brigjen Soepardjo. 

Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.

Di antara operasi pendaratan tersebutlah, Herman Thio ikut di dalamnya. 

Saat itu, 29 Oktober, 52 tentara KKO (Marinir) mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.

"Saat itu kami naik speedboat dari Pulau Asam, Karimun," jelas Herman. 

Pertemuan saya dan Herman berlangsung di sebuah foodcourt bilangan Baloi, Batam jelang tengah hari. 

Sengaja di awal tulisan ini saya mengisahkan latar belakang Operasi Dwikora (sumber saya rangkum dari wikipedia), sebelum mengurai bagaimana peran Herman saat itu. 

Sebagai mana telah saya jelaskan, plot besar dari operasi yang terjadi antara tahun 1962–1966 ini adalah, di saat Indonesia terlibat konfrontasi terbuka dengan Malaysia yang kala itu dipimpin Tunku Abdul Rahman. 

Perang ini berawal dari keinginan Federasi Malaya lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu (kini Malaysia Barat/semenanjung) pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak (Malaysia Timur) ke dalam Federasi Malaysia yang tidak sesuai dengan Persetujuan Manila.

Presiden Sukarno marah, yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal sebagai Malaysia sebagai "boneka Inggris", merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia. *** (bersambung)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar