DLHK Kepri Dituding Lakukan Pembiaran Terkait Tambang Ilegal di Lingga

Wakil Ketua TEPI Lingga, Rudi Purwonugroho

TRANSKEPRI.COM.TANJUNGPINANG - Mayoritas kerusakan lingkungan dan kawasan Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas serta Hutan Konversi terjadi akibat adanya Pertambangan Bauxite serta Pasir non prosedural dan lemahnya pengawasan instrumen negara di daerah.

Wakil Ketua Tim Evaluasi Perizinan Investasi (TEPI) Kabupaten Lingga, Rudi Purwonugroho, menuding Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Riau terkesan melakukan pembiaran rusaknya lingkungan dan ekosistem hutan, Kamis (19/8/21). 

"Sebagai representasi Pemerintah Pusat di daerah dalam melakukan pengawasan dan penjagaan hutan, DLHK Kepri seharusnya dapat bekerja secara maksimal, jangan terkesan mereka melakukan pembiaran," tutur Rudi.

Selanjutnya Rudi menceritakan pasca kunjungan anggota DPR RI Komisi VII telah menemukan serta mengumpulkan bukti-bukti tentang amburadulnya penataan kegiatan pertambangan diingga, baik itu Pasir, bauxite. Kami berharap temuan anggota DPR RI tersebut dapat di follow up Mabes Polri, agar sistematika penguasaan area pertambangan dapat berjalan sesuai UU dan peraturan yang berlaku.

Rudi juga mengutarakan implikasi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah terhadap tata kelola mineral dan batubara yang baik diberlakukan dan pendelegasian perizinan wewenang perizinan minerba ke BKPM, Kabupaten tidak lagi punya rentang kendali yang memadai untuk menghentikan dugaan ilegal minning di daerah.

"Pasca penarikan izin dan tata kelola mineral dan batu bara ke pusat kewenangan kabupaten terbatas, nah untuk fungsi pengawasan seharusnya dinas terkait seperti DLHK dapat bekerja secara baik dan maksimal dalam menjaga hutan," tukasnya.

Hampir 100 persen kegiatan pertambangan di Kabupaten Lingga tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan Pusat, bayangkan berapa banyak pohon, bakau dan ekosistem lainnya yang dirusak akibat adanya aktifitas pertambangan yang tidak sesuai UU dan prosedur," katanya lagi.

Sebenarnya kata Rudi, Pemerintah telah mengeluarkan aturan yang mewajibkan pemegang izin pertambangan untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan benar. Jika melanggar, sanksi maksimal pencabutan izin siap dijatuhkan.

Hal ini tertuang Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Dalam PP yang baru disahkan 20 Desember lalu ini, Pemerintah mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus Eksplorasi untuk melakukan reklamasi. Reklamasi  tersebut dilakukan terhadap lahan yang terganggu pada kegiatan eksplorasi.

Sementara, bagi pemegang IUP dan IPUK Operasi Produksi, selain reklamasi juga diwajibkan untuk melakukan pascatambang pada lahan terganggu pada kegiatan pertambangan. Kewajiban ini menyangkut baik kegiatan penambangan terbuka maupun penambangan bawah tanah.

"Reklamasi dan Pascatambang adalah konsep yang dianut dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Reklamasi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan serta ekosistem agar dapat berfungsi kembali  sesuai peruntukannya," tandasnya.

"Adapun kegiatan pascatambang didefinisikan sebagai kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir dari sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan. Tujuannya,  untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan  fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan," bebernya.

Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Riau, Hemdri ST ketika di konversi tentang kerusakan hutan di berbagai lokasi akibat adanya aktifitas pertambangan ilegal, dirinya belum memberikan jawabaan dan action pencegahan. (mad)


 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar