SEJARAH
Upaya Pembunuhan Sukarno di Hari Idul adha
Gagal membunuh Sukarno di hari raya Idulfitri, para pelaku berusaha menghabisinya di hari raya Idul adha.
TRANSKEPRI.COM. Salat Idul adha di halaman Istana Merdeka Jakarta pada 14 Mei 1962, sudah masuk penghabisan rakaat kedua, saat seorang lelaki berpistol tiba-tiba berdiri dan meneriakkan takbir. Sejurus kemudian: Dor… dor...dor! Tiga letusan menyalak, melesatkan timah panas ke arah barisan terdepan.
Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden Sukarno, dan wakilnya Sudiyo, dengan cepat melindungi Sukarno.
Soedarjat, anggota DKP yang berjaga di belakang Sukarno, membalikkan badan sembari mencabut pistol. Nahas, dia keduluan ditembus peluru, jatuh berlumuran darah di belakang Sukarno. Soesilo, anggota DKP, juga ketika memutar badan ke belakang terkena pelor di kepalanya. Satu peluru lagi mengenai bahu Ketua DPR KH Zainul Arifin.
Menteri Pertahanan Jenderal TNI A.H. Nasution, yang berdiri di samping Sukarno merasakan desingan peluru. “Peluru lewat leher saya sebelah kiri, lebih dekat kepada saya daripada kepada Presiden,” kata Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5-6. “Begitu juga ada pelor yang mendekat imam, yang karena kaget terjatuh dari mimbarnya.” Ketua Nahdlatul Ulama KH Idham Chalid yang bertindak selaku imam salat, luka ringan.
Sambil membungkuk, penyerang merangsek mendekati Sukarno. Sribusono menendang kakinya, sehingga terjerembab jatuh. Bruk. Dibantu Musawir, Sribusono bergumul dengan penembak. Pistol dirampas, pelaku diringkus.
Pelaku yang pingsan dan babak belur, diletakkan di depan masjid Istana, Baiturrahim. “Saya sebentar menyempatkan diri melihat orangnya,” kata Nasution.
Tembakan itu membuat salat id terhenti. Saf tercerai-berai. Jemaah kocar-kacir; ada yang menjerit ketakutan, mundur ke belakang mencari perlindungan, dan tiarap.
Rencana yang Terduga
Sehari sebelumnya, Kapten CPM (Corp Polisi Militer) Dahlan, komandan pengawal Istana Presiden, menemui Mangil Martowidjojo. Dahlan memberitahukan informasi penting bahwa akan ada usaha pembunuhan terhadap Sukarno pada saat salat Iduladha. Berdua kemudian merancang pengamanan.
Mangil menginstruksikan kepada anggotanya, baik yang bertugas dengan pakaian seragam maupun pakaian preman: “Tugas kamu melindungi diri pribadi Bung Karno, sebagai pagar hidup, artinya kamu melindungi Bung Karno dengan badan kamu sendiri, sebagai perisai pelindung Bung Karno dari segala macam serangan,” kata Mangil dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967.
Mangil menempatkan anggota berpakian seragam di enam pos di sekitar jemaah salat. Masing-masing pos terdiri dari dua anggota bersenjata AR-15. Anggota berpakaian preman berada di baris belakang Sukarno dengan posisi zig-zag. Mangil sendiri dan wakilnya, Sudiyo, berdiri persis di depan Sukarno, menghadap jemaah yang salat. Sementara itu, Dahlan menempatkan anggotanya pada pintu masuk untuk memeriksa setiap orang yang akan mengikuti salat.
Dugaan Dahlan terbukti. Tembakan ke arah Sukarno membuat salat id terhenti sebelum salam. Pelaku dibekuk. Korban terluka, yakni Soedarjat, Soesilo, dan Zainul Arifin dilarikan ke rumah sakit. Setelah keadaan terkendali salat id kembali dilanjutkan. Idham Chalid, masih sebagai imam. Selesai salat, dilanjutkan khotbah. “Kemudian saya naik ke mimbar membacakan khotbah,” kata Nasution.
Setelah khotbah, sedianya Sukarno memberikan sambutan. Namun, dibatalkan karena kejadian penembakan itu. Jemaah bubar dan diperiksa satu persatu. Yang tidak mempunyai kartu penduduk, terpaksa menjalani pemeriksaan lanjutan. Namun, semuanya dapat meninggalkan istana, kecuali penyerang yang sudah diamankan.
Setelah semua jemaah meninggalkan istana. Anggota polisi menyisir dan menemukan sarung pistol dan sepucuk pistol FN 45 di bawah tikar alas salat, senjata sejenis yang dipakai pelaku penembakan.
Sementara itu, Nasution menengok Sukarno dalam keadaan bugar. “Saya laporkan bahwa kami telah selesai dan khotbah saya telah berlangsung selamat,” kata Nasution. “Respons beliau dalam bahasa Belanda: Je bent een ferme vent (kamu adalah seorang yang tegas).” Kepada Mangil, Sukarno menanyakan, “Ngil, anak buahmu berjasa besar sekali kepada Bapak. Lantas, bagaimana keadaan Soedarjat?”
“Soedarjat dan Soesilo telah dikirim ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan. Keadaan mereka tidak begitu mengkhawatirkan,” kata Mangil. Keduanya kemudian mendapatkan penghargaan dari Sukarno.
Luputnya Sukarno dari maut berbau mistis. Hal ini dikemukakan Maulwi Saelan, mantan wakil komandan Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden. “Ketika diperiksa, penembak mengaku melihat Bung Karno yang dibidiknya, ada dua orang, dan menjadi bingunglah dia hendak menembak yang mana. Tembakannya meleset dan mengenai bahu Ketua DPR Zainul Arifin,” kata Maulwi.
Upaya penembakan tak membatalkan jadwal rapat kabinet yang baru seminggu pergantian kabinet: dari Kabinet Kerja II ke Kabinet Kerja III. Sukarno memimpin sidang di Istana Negara. “Kami lanjutkan dengan rapat kabinet inti, untuk mengesahkan pernyataan pemerintah tentang kebijakan ekonomi,” kata Nasution.
Melalui Radio Republik Indonesia, pemerintah memberikan keterangan resmi mengenai upaya pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Isinya: Presiden Sukarno selamat, korban luka lima orang, tiga di antaranya luka serius, sedangkan pelaku ditangkap.
Berbagai media massa mengutip siaran pers tersebut. Namun, kantor berita United Press International (UPI) di Singapura menyiarkan berita sensasional bahwa Presiden Sukarno mati terbunuh waktu salat Iduladha.
Walaupun berita itu kemudian diralat, tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI, kelompok kiri dan pendapat umum dengan keras menekan agar UPI dilarang bekerja di Indonesia. “Presiden rupanya setuju dengan agitasi golongan kiri. Maka kemarin (21 Mei 1962, red.) diputuskannya supaya kantor UPI di Jakarta ditutup,” tulis Rosihan.
Ketika Boes Effendi dan Ganis Harsono dari Departemen Luar Negeri melaporkannya kepada Menteri Luar Negeri Subandrio, “Apakah kalian membantah Presiden?” kata Subandrio. “Kalau Presiden mengatakan tutup UPI, tutup sajalah.”
Para Pelaku
Hasil pengusutan terhadap pelaku yang tertangkap, diketahui mereka adalah anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan S.M. Kartosoewirjo. “Oknum penembak berjumlah tiga orang, mereka berhasil masuk ke dalam Istana Jakarta dengan memegang kartu undangan masuk, yang mereka peroleh dari salah satu ormas,” kata Mangil.
Ketiga pelaku itu adalah Sanusi alias Fatah alias Soleh alias Uci Sanusi Fikrat alias Sanusi Ufit, Kamil alias Harun bin Karta, dan Jaya Permana bin Embut alias Hidayat bin Mustafa.
Dari hasil pemeriksaan terhadap Sanusi terungkap bahwa upaya pembunuhan terhadap Sukarno pernah direncanakan ketika salat Idulfitri 1381 Hijriyah atau 9 Maret 1962. Pada suatu waktu, Sanusi bersua dengan kenalan lamanya, Kadri. Dia diajak ke rumah Haji Machfud di daerah Matraman Belakang, Jakarta. Di sana, dia melihat sembilan anggota DI/TII yang mendapat perintah membunuh Sukarno pada hari raya Idulfitri. Mereka adalah Dachya, Harun, Abudin, Kadri, Hidayat, Cholil, Hamdan, Anwar, dan Iding. Senjata yang disediakan dua pucuk senapan Carl Gustav, lima pistol, dan satu granat.
Dua hari setelah pertemuan itu, mereka pergi menemui Jaya Permana, yang memberikan pondokan kepada beberapa anggota DI/TII. Sanusi mendengar percekcokan antara Iding dan Hidayat. Iding dituduh mengkhianati Dachya, Anwar, dan Cholil, sehingga mereka tertangkap. Penangkapan itu membuat rencana pembunuhan Sukarno di hari raya Idulfitri, gagal.
Abudin melaporkan kegagalan rencana pembunuhan itu kepada Marjuk bin Akhmad alias MD Nugraha alias Jiwa Praja, seorang pemimpin DI/TII di Gunung Galunggung, Jawa Barat. Sementara itu, Sanusi bersama Kadri, Harun, Hidayat, Hamdan, menuju rumahnya di Kampung Ciranjang Desa Pamejanan, Bogor. Abudin kembali dengan membawa surat perintah untuk menghabisi Kadri. Ternyata, yang berkhianat adalah Kadri, bukan Iding.
Sanusi membunuh Kadri di rumahnya pada 25 Maret 1962 pukul 01.00. Dua hari kemudian, dia dan Abudin pergi ke Gunung Galunggung. Marjuk memerintahkan Sanusi memimpin pembunuhan Sukarno pada saat salat Iduladha. “Dia juga menerima empat lembar dokumen berisi pengumuman kemenangan Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia, yang harus diberikan kepada seorang jenderal,” kata Mangil. Marjuk tidak menyebutkan nama sang jenderal.
Sanusi mendapatkan kunci masuk istana berupa undangan dari Haji Bachrun yang tinggal di Bogor. Sanusi memutuskan sebagai eksekutor adalah dirinya, Harun, dan Hidayat. Sementara Hamdan dan Abudin ditugaskan mendengarkan radio hasil dari usaha pembunuhan itu.
Pada hari H, pukul 5.30 mereka berangkat menuju Harmoni, dekat Istana. Lalu, berbagi tugas. Sanusi menembak pertama sebagai tanda Harun mulai melepaskan tembakan ke arah Sukarno dan Hidayat melemparkan granat ke kerumunan yang sedang panik.
Harun masuk Istana dan mengikuti salat. Tiba-tiba disergap perasaan takut dan terharu akan beban pembunuhan yang harus dilakukannya. Dia membatalkan niat jahatnya dan menyembunyikan pistol FN di bawah tikar. Setelah salat selesai, dia lolos dari penggeledahan. Dia menuju Kampung Pulo, Jakarta dan bertemu Hidayat di sana. Kepada Hidayat, Harun mengaku tidak jadi menembak karena senjatanya macet.
Setali tiga uang dengan Harun. Hidayat malah membatalkan niatnya masuk istana. Dia membuang granat ke sungai Cisadane. Mendengar kegagalan pembunuhan Sukarno lewat radio, Hamdan dan Abudin juga segera melarikan diri. Mereka membawa serta istri Sanusi, Cici Sukarsih, melarikan diri ke daerah Cianjur.
Pelaku percobaan pembunuhan Sukarno pada Idulfitri dan Iduladha berjumlah sembilan orang. Semuanya berhasil ditangkap. Menurut Rosihan, para pelaku itu mencari pembenaran perbuatannya atas nama Tuhan. “Kabarnya pembunuh itu selain mengatakan diperintah oleh Kartosoewirjo untuk membunuh presiden, untuk selebihnya dia tidak mau mengaku dan hanyalah menjawab: ‘Tuhan yang menyuruh saya.’ Begitulah keyakinan mereka.”
Kartosoewirjo memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Sukarno karena dianggap penghalang terwujudnya Negara Islam. Menurut Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, “Kartosuwiryo melontarkan api dengan ucapannya, ‘Bunuh Sukarno. Dialah penghalang pembentukan Negara Islam…Sukarno bekerja menentang kita. Sukarno menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Pancasila, bukan Islam. Sebagai jawaban atas tantangan ini kita harus membunuh Sukarno!’”
Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Jawa dan Madura menjatuhkan vonis mati kepada Sanusi Firkat alias Usfik dan Kamil alias Harun pada 16 Juli 1962; Jaya Permana alias Hidayat, Napdi alias Hamdan, dan Abudin alias Hambali pada 7 Agustus 1962; dan Marjuk bin Akhmad pada 2 Oktober 1962. Sedangkan tiga orang lainnya, Dachya alias Musa, Hermanudin alias Anwar, dan Cholil alias Pi’ie dihukum seumur hidup pada 11 September 1962.
Kartosoewirjo sendiri ditangkap pada 5 Juni 1962. Dia dinyatakan bersalah: “makar untuk merobohkan negara Republik Indonesia, memberontak terhadap kekuasaan yang sah di Indonesia, dan makar untuk membunuh kepala negara Republik Indonesia yang dilakukan berturut-turut dan terakhir dalam peristiwa Iduladha.” Karena kejahatan-kejahatan itu, Mahkamah Angkatan Darat menjatuhkan hukuman mati kepada Kartosoewirjo pada 16 Agustus 1962.
“Pemerintah telah menuntut hukuman mati sebagaimana layaknya aturan hukum dan untuk menunjukkan kepada yang lain, bahwa perbuatan demikian itu harus diganjar hukuman yang setimpal,” kata Sukarno.
Menurut Maulwi Saelan, Haji Bachrun –yang memberikan undangan masuk istana– juga ditangkap dengan tuduhan mengatur rencana dan memerintahkan pembunuhan. Pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), dia dipindahkan dari Rumah Tahanan Militer Guntur ke penjara Salemba, berbaur dengan ribuan tahanan G30S.
“Di tempat itu juga ditahan kapten CPM yang pernah menginterogasinya,” kata Maulwi. “Sikapnya terhadap tahanan G30S sangat baik. Dia menjadi imam salat dan memberikan ceramah. Dia bebas lebih cepat daripada para tahanan G30S.”
Menurut Ario Helmy, penulis biografi KH Zainul Arifin, Berdzikir Menyiasati Angin, setelah kejadian upaya pembunuhan terhadap Sukarno di hari raya Iduladha, Presiden tidak pernah lagi melakukan salat di tempat terbuka. “Sementara itu,” tulis Ario, “untuk keperluan pengamanan dibentuklah satuan tugas khusus pengamanan Presiden pada 6 Juni 1963, bertepatan dengan hari ulang tahun Sukarno, dengan nama Resimen Tjakrabirawa.”
“Peristiwa Iduladha ini kelak mengubah jalan hidup saya,” kata Maulwi, “karena dengan alasan itu, saya dipindahkan dari Makassar ke Jakarta untuk ikut membentuk Resimen Tjakrabirawa yang bertugas menjaga kepala negara dan keluarganya.”
Tulis Komentar