SEJARAH

Front Bandung Demam Kebal Peluru

Para pemuda di Front Bandung tengan menjalankan aksi pemeriksaan (IPPHOS)

Segala cara dilakukan para pejuang Republik guna menghadapi tentara Belanda. Mulai memasang jimat mematikan hingga merapal ajian anti pelor.

TRANSKEPRI.COM. Menjelang revolusi bergulir di Front Bandung, tersebutlah seorang “kiyai sakti” bernama Abdulhamid di Ciamis. Rumor mengatakan dia memiliki sebuah “sumur keramat” yang airnya bisa membuat seseorang kebal terhadap senjata tajam dan peluru. Maka berduyun-duyunlah para pemuda yang tengah mengidap demam kebal peluru datang untuk menemuinya.

“Konon setiap hari dia bisa menerima pasien hingga jumlah ratusan orang,” ungkap Odoy Soedarja, anggota intelijen Divisi Siliwangi pada era 1946—1949.

Soal kiyai Ciamis itu sempat dibahas oleh sejarawan John R.W. Smail dalam bukunya, Bandung in the Early Revolution 1945-1946. Menurut Smail, begitu besarnya reputasi sang kiyai hingga banyak pemuda (sebagian dari kalangan terpelajar) dan orang dewasa rela menempuh jarak 250 mil perjalanan pulang-pergi dengan kereta api hanya untuk menemuinya.

“Dia memiliki kebiasaan memandikan para pasien-nya dengan air dari sumurnya itu dengan tujuan membuat mereka kebal (senjata tajam dan peluru),” ungkap Smail.

Tahun 1947 serangan militer Belanda sepanjang Sungai Citarum mengalami peningkatan. Nyaris tiap hari, mereka menembakan mortir dan meriamnya ke wilayah-wilayah tersebut. Dalam situasi seperti itu, Komandan Batalyon 22 Mayor Soegiharto mendapat tawaran bantuan dari sang kiyai.

Menurut kurir-nya, Kiyai Abdulhamid akan datang bersama tentara bambu runcing-nya yang juga sudah diperkuat oleh ilmu kebal peluru. Disebutkan rombongan santri dari Ciamis itu akan datang lengkap dengan ribuan Pasukan Tawon-nya.

“Alangkah gembiranya saya menerima berita itu. Terbayang di depan mata, saya dan pasukan akan masuk kota Bandung sebagai “jenderal menang perang,” ujar Soegiharto dalam otobiografinya, Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegiharto.

Singkat cerita, waktu penyerangan pun tiba. Alih-alih bisa menggasak musuh, pasukan yang dipimpin Soegiharto malah kocar-kacir karena dihajar peluru-peluru mitrailur Belanda sekaligus disengat tawon-tawon yang hilang kendali. Korban tewas pun berjatuhan.

“Kalau saja Belanda mau mengumpulkan bambu-bambu yang berserakan usai pertempuran, pasti mereka dapat membuat pagar sepanjang Kali Citarum,” kenang Soegiharto.

Beberapa bulan kemudian peristiwa serupa kembali terulang. Kali ini Kiyai Abdulhamid membuat  banjir darah di Cijawura (masuk dalam wilayah Buah Batu, Bandung). Ceritanya, suatu hari di bulan puasa, dia dan pimpinan Pesantren Cipaku Haji Adjid berpidato di hadapan para santri. Isi pidato mereka berdua adalah ajakan kepada para santri dan penduduk Cipaku untuk kembali merebut Bandung yang sudah dikuasai oleh Belanda.

Pidato yang menggebu-gebu itu disambut secara histeris oleh ribuan santri dan penduduk yang mengikuti pengajian tersebut. Guna memompa keberanian dan kepercayaan diri massa, Kiyai Abdulhamid menyatakan bahwa dia akan membuat mereka tidak mempan peluru. Musuh cukup diserang hanya dengan beberapa pucuk bedil, bambu hitam runcing, golok, tombak, keris, katapel dan panah. Dalam kesempatan itu, Kiyai Abdulhamid kembali menyombongkan Pasukan Tawon-nya.

“Pasti mereka menyerah. Kita datang hanya untuk melucuti mereka saja dan kita dapat berlebaran kembali di Bandung,” demikian pidato sang kiyai yang langsung disambut takbir membahana dari massa.

Keesokan paginya, orang-orang yang berkumpul di Babakan Termas kemudian dimandikan secara massif di sebuah kolam besar yang terletak di depan Pesantren Cipaku. Hal itu dilakukan supaya mereka tak bisa disentuh oleh peluru serdadu Belanda. Selesai shalat subuh, bergeraklah massa menuju markas tentara Belanda di Cijawura.

“Ditaksir panjang barisan penyerbu itu sekitar 10 km karena ketika bagian depan barisan sudah sampai di Sapan, ekor barisan masih tertinggal di Babakan Termas,” ungkap Haji Mohammad Daud (salah seorang saksi kejadian itu) dalam biografi Mohamad Rivai, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Sambil mengacungkan berbagai aneka macam senjata tajam, mereka menggemuruhkan salawat dan takbir. Tak lupa mereka pun membawa spanduk-spanduk yang menggantungkan sebuah jimat besar yang dikatakan sebagai penangkal peluru musuh.

Menjelang Cijawura, tetiba mereka dihujani mitrailur tentara Belanda. Tak ayal sebagian massa pun bertumbangan. Darah memuncrat di sana-sini diselingi teriakan kesakitan yang menyayat hati. Dalam kondisi seperti itu, sekonyong-konyong muncul sebuah pesawat pemburu yang langsung menembaki massa dengan senjata otomatis 12,7. Korban tewas pun semakin banyak.

“Ditaksir yang gugur berjumlah sekitar 250 orang. Rata-rata yang dilanda peluru adalah bagian dada dan pinggang mereka,” ungkap Daud.

Kiyai Abdulhamid dan Haji Adjid sendiri selamat dalam kejadian itu. Ketika ditanya mengapa jimat-jimat dan doa-doanya tidak mempan, dia menjawabnya dalam nada ringan:

“Karena massa yang akan menyerbu telah bercampur baur dengan orang-orang yang kotor, maka ilmu yang saya terapkan menjadi hambar,” ujarnya.

Beberapa jam setelah Peristiwa Cijawura, Kiyai Abdulhamid pun pulang ke Ciamis. Namun rakyat kemudian menjadi marah dan membunuhnya. Tidak cukup membantai dengan golok, tubuh sang kiyai lantas dicincang oleh massa rakyat.

“Rakyat menuduhnya sebagai kaki tangan Belanda,” ujar Daud.

 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar