SEJARAH

Hatta Bertanya, Agus Salim Menjawab

Haji Agus Salim dan seorang pejabat Belanda (Nationaalarchief.nl)

Haji Agus Salim menjawab segala kerisauan Hatta tentang makna sesungguhnya dari sosialisme dan kapitalisme yang dia lihat dalam kehidupan sehari-hari.

TRANSKEPRI.COM. Februari 1920. Purnama nampak di atas Batavia saat tiga pemuda berdiri di depan pintu rumah Haji Agus Salim, seorang tokoh Sarekat Islam (SI). Mereka adalah Mohammad Hatta, Amir, dan Bahder Djohan. Ketiga pemuda asal Sumatra itu tengah aktif belajar dan berorganisasi, utamanya organisasi pergerakan. Dahaga kesadaran nasional telah membawa mereka kepada pencarian para lakon utama gerakan kemerdekaan.

Hatta dan kawan-kawannya datang pada waktu yang dijanjikan. Ketika sampai, mereka disambut keramaian suasana di rumah Haji Agus Salim. Ada sejumlah besar pemuda yang telah lebih dahulu tiba di sana. Mereka terlihat asik mendengarkan cerita-cerita Agus Salim.

“Apakah beliau lupa akan menerima kita pada malam ini?” tanya Hatta.

“Ah, tidak! Itu sudah kebiasaan baginya, kecuali kalau ada pembicaraan yang tidak boleh diketahui orang lain. Ia selalu dikerumuni oleh yang muda-muda. Pemuda gemar sekali menanyakan ini dan itu kepada beliau dan tidak ada pertanyaan yang tidak terjawab,” ujar Amir.

Belum sempat Hatta mengucapkan salam, Agus Salim telah berdiri dan melempar terlebih dahulu salam kepada mereka. Ia beranjak dari kursinya, lalu berjalan menuju Hatta yang berdiri di tengah pintu. Sambil mengulurkan tangan, Agus Salim menanyakan kabar tiap-tiap orang. Bagi Hatta, sebagaimana diceritakan dalam otobiografinya, Memoir, sikap itu merupakan perangai seorang pemimpin besar. Keramahannya ke luar dari hati, tidak dibuat-buat.

Setelah memberi salam kepada tamu lain, Hatta dipersilahkan duduk. Mula-mula ketiganya mengungkapkan tujuan kedatangan mereka ke kediaman Agus Salim, yang segera disusul oleh beragam pertanyaan tentang isu-isu di masyarakat. Agus Salim menjadi pembicara utama malam itu. Para pemuda lebih banyak mendengarkan, kecuali ada pertanyaan yang diajukan kepada mereka.

Hatta memulai percakapan malam itu dengan pengalamannya ikut membantu kantor sang paman yakni Ayub Rais, yang menjual hasil hutan, lada, berjangka penyerahan tiga bulan. Anehnya, barang tidak pernah diserahkan pada waktunya, hanya selisih harga yang diperhitungkan. Cara itu membuat orang yang tidak banyak mempunyai kapital dapat menjual dan membeli barang sampai harga ratusan ribu gulden tiap hari. Keuntungan yang didapat dalam sehari pun bisa mencapai 20 ribu gulden, tapi keesokannya bisa saja merugi dalam jumlah yang hampir sama. Bagi Hatta, cara seperti itu tidak sehat. Namun praktek dagang spekulasi semacam itu semakin banyak dilakukan pedagang bumiputera.

“Ya, itu adalah praktek dagang dalam kapitalisme,” kata Agus Salim. “Kapitalisme juga telah berkuasa di sini dan orang-orang kita yang mengerjakan dagang mau tak mau masuk ke dalam arusnya. Atau menjadi budak kapitalisme, melakukan barang-barang mereka atau memberikan barang-barang mereka yang mereka sendiri menentukan harga dan syarat-syarat lainnya.”

Agus Salim kenal betul Ayub Rais. Ia memulai usahanya dari bawah. Dengan tidak mempunyai modal, Rais sanggup mengangkat dirinya menjadi kapitalis besar. Dia penuh inisiatif, kuat bertindak, dan seorang self made man. Sayang, jentera kapitalisme yang dibawa bangsa asing telah menjeratnya ke dalam sistem dagang besar.

Tetapi kendatipun ia seorang kapitalis yang terkesan mementingkan diri sendiri, Ayub Rais mempunyai rasa sosial yang besar. Ia kerap membantu orang-orang melarat yang meminta tolong kepadanya. Bantuan kepada pembangunan masjid-masjid juga tidak sedikit ia keluarkan. Terlebih, kehidupannya tetap terjaga dengan sederhana, jauh dari kemewahan layaknya seorang kapitalis besar.

“Tetapi betapapun baiknya bagi dia, kapitalisme jangan kita bantu. Sedapat-dapatnya kita tolong menghancurkannya. Kapitalismelah yang menjadi dasar penjajahan Belanda di sini,” ujar Agus Salim.

Uraian dari Agus Salim itu membuat semangat para pemuda kian menggebu-gebu. Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti diajukan. Sesekali Agus Salim memberi candaan yang membuat pertemuan malam itu semakin ceria. Saat tiba giliran Amir, suasana kembali serius. Ia bertanya: “Bagaimana menyesuaikan kapitalisme dengan Islam, sebab sosialisme yang didirikan Karl Marx bersifat matrealisme, anti-Tuhan?”

“Nabi Muhammad SAW yang diutus oleh Tuhan mengembangkan Islam di atas dunia ini sudah 12 abad lebih dahulu dari Marx mengajarkan sosialisme. Perkataan sosialisme baru didapat dalam abad ke-19. Sosialisme Marx anti-Tuhan. Tetapi tujuan yang hendak dicapai masyarakat yang berdasarkan sama rasa sama rata yang bebas dari kemiskinan, sudah lebih dahulu dibentangkan di dalam Islam, agama Allah yang disampaikan Nabi Muhammad kepada umat manusia,” jawab Agus Salim.

“Sayangnya, ulama-ulama kita hanya mengutamakan segi ibadatnya dan fiqih, tapi melupakan segi kemasyarakatan itu daripada Islam. Mengerjakan segi kemasyarakatan itu ialah juga perintah Allah dalam Qur’an. Dari ulama-ulama kita didikan langgar yang pengetahuannya berat sebelah tidak dapat diharapkan bahwa mereka akan sanggup menelaah segi kemasyarakatn itu dalam Islam,” lanjutnya.

Rupanya paham sosialisme didapat Agus Salim dari seorang guru ekonomi, saat ia bersekolah di GBS Salemba. Guru itu seorang sosial-demokrat. Sewaktu Agus Salim pergi ke Jeddah, Mekah, pada 1906, keyakinan sosialisme sudah cukup mengakar dalam dirinya. Dan Islam yang dipelajarinya di sana membuat paham itu semakin kuat. Menurut Agus Salim, Islam adalah sosialisme yang diperintahkan Allah SWT.

Uraian Agus Salim itu membuat keyakinan Hatta terhadap sosialsime, yang sebelumnya telah bersarang dalam dirinya, kian menguat. Ia merasa perlu mencoba menyelami dasar-dasar sosialisme itu dari ajaran Islam. Meski memerlukan waktu lebih lama baginya untuk menjalankan niat tersebut karena keterbatasan kemampuan berbahasa Arab. Ia mencoba menunggu hingga dikeluarkannya salinan Al-Qur’an dalam bahasa Melayu.

“Aku merasa gembira bertemu pada malam itu dengan dia. Ada kata-katanya yang menimbulkan tantangan dalam hati, tetapi belum berani mendebat. Ada pula pendapatnya yang memperkuat pendirian kami menuju kepada satu jurusan,” ujar Hatta.

 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar