Puluhan Warga Rohingya Diadili di Pengadilan Myanmar

Rohingya, ilustrasi

TRANSKEPRI.COM, PATHEIN - Sejumlah Muslim Rohingya hadir di pengadilan Myanmar pada Rabu (11/12) untuk menghadapi tuduhan bepergian secara ilegal setelah ditangkap saat melarikan diri dari negara bagian Rakhine. Sebanyak 93 warga Rohingya termasuk 23 anak-anak dibawa ke pengadilan, bertepatan dengan peraih nobel perdamaian Myanmar Aung San Suu Kyi bersaksi di Pengadilan Internasional untuk membela negaranya dari dakwaan pemusnahan suku (genosida) terhadap Rohingya.

Polisi dengan bersenjata lengkap melarang wartawan memasuki pengadilan di kota Pathein, Myanmar dengan alasan keamanan. Padahal, biasanya dengar pendapat di pengadilan terbuka bagi wartawan.

Reuters melaporkan, 93 warga Rohingya tersebut dibawa dengan menggunakan truk tertutup. Hanya kaki-kaki telanjang mereka saja yang terlihat dari luar.

Sebanyak 93 warga Rohingya ditangkap pada 28 November di sebuah pantai di daerah delta Irrawaddy di barat daya Myanmar. Mereka pergi ke wilayah tersebut dengan menggunakan kapal dari Rakhine.

Setelah persidangan, pengacara Thazin Myat Myat Win mengatakan kepada wartawan bahwa seorang hakim menunda persidangan sampai 20 Desember. Jika terbukti bersalah, mereka menghadapi hukuman dua tahun penjara. Pada Senin (9/12), kelompok hak asasi Fortify Rights merilis rekaman video yang menunjukkan 93 orang Rohingya dijejalkan ke sel-sel yang penuh sesak sambil menunggu persidangan.

"Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak, usia 11 tahun hingga 13 tahun. Kejahatan mereka bukanlah kejahatan yang nyata," ujar Thazin.

“Pemerintah mengatakan akan menyambut mereka yang berada Bangladesh untuk kembali ke Myanmar. Pemerintah mengatakan kepada dunia bahwa mereka (Rohingya) dipersilakan untuk kembali ke negara itu dan kemudian mereka memperlakukan anak-anak dengan cara ini," kata Thazin melanjutkan.

Pada 2017, lebih dari 730 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh akibat serangan militer Myanmar. Menurut penyelidik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), operasi militer tersebut bertujuan untuk memusnahkan suku Rohingya. Namun sekitar 600 ribu warga Rohingya masih bertahan di kamp-kamp dan desa-desa di Myanmar dengan keterbatasan akses layanan kesehatan serta pendidikan.

Nasib Rohingya yang masih tinggal di Rakhine menjadi fokus pada persidangan di Mahkamah Internasional di Den Haag. Gambia membawa kasus kekerasan terhadap Rohingya ke Mahkamah Internasional dan menuding Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida 1948. Pengacara untuk negara Afrika Barat menyatakan kondisi etnis Rohingya di Rakhine bergantung pada sumbangan bantuan kelompok kemanusiaan. (ssb/republika)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar