SEJARAH

Kisah Lucu di Tengah Liburan Bung Karno Bareng Pelukis

Sudjojono dan istri bersama Bung Karno beserta Harijadi dan istri (repro

Dekat dengan pelukis, Bung Karno kerap mengundang mereka makan atau liburan. Ada cerita lucu ketika mereka berlibur bareng di Puncak.

Tak lama setelah Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) dibentuk pada 1943, pelukis Sudjojono dipanggil Bung Karno, satu dari Empat Serangkai yang menjadi pemimpin PUTERA. Sudjojono diminta Bung Karno membantunya di lembaga era pendudukan Jepang itu.

“Mas Djon ditarik bekerja di PUTERA oleh Bung Karno, yang telah mengenalnya melalui karikatur-karikaturnya di harian Pikiran Rakyat,” kata Mia Bustam, istri Sudjojono, dalam memoar berjudul Sudjojono dan Aku.

Di lembaga yang bertugas untuk menghimpun segenap potensi bangsa Indonesia guna mendukung kepentingan Perang Asia Timur Raya itu, Sudjojono ditempatkan di Bagian Kesenian.

“Bagian Seni PUTERA diketuai oleh mantan anggota PERSAGI, Sudjojono, bersama Agus Djaja, Otto Djaja, Suromo, dan Kartono Yudhokusumo,” tulis M. Dwi Marianto dalam Surealisme Yogyakarta.

Tugas Sudjojono, sebagaimana diminta Bung Karno, menarik para pelukis yang tidak tergabung ke dalam Keimin Bunka Shidoso (Badan Kebudayaan) masuk ke Bagian Kesenian di PUTERA. Salah satu pelukis yang ditariknya bergabung ke PUTERA adalah Affandi.

Hubungan para pemimpin PUTERA dan anggota sangat cair. Terlebih Bung Karno, sangat karib dengan para anggota yang seniman.

"Sejak tahun ’35-an Bung Karno sudah menjalin hubungan dengan seniman, khususnya dengan pelukis," tulis Iman Toto K. Rahardjo dalam Bung Karno, Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku: Kenangan 100 Tahun Bung Karno.

Seingat Mia, Bung Karno kerap mengundang para pelukis ke rumahnya di Pegangsaan. Di masa pendudukan Jepang, ketika Bung Karno mendapatkan rumah peristirahatan di daerah Tugu, Puncak, Bogor, para pelukis kerap diundang berlibur ke sana.

Vila bekas milik Profesor Reddingius itu dinamakannya Pesanggrahan Kiara Payung. Di tangan Bung Karno, vila itu diperindah dengan taman yang dirancang menurut selera seninya.

“Alangkah indah taman bunga itu ditatanya. Selera Bung Karno memang sangat artistik. Di taman Bung Karno semua tumbuhan perdu dibiarkan tumbuh alamiah. Hanya jika perlu saja di sana-sini dipangkas, sekadar untuk pantas-pantas. Semuanya dicampur menjadi satu, tumbuh bersama. Anyelir, margrit, pensee, verbena, gerbera, aster. Semuanya dicampur, tapi juga tidak terkesan ngawur. Tinggi rendah tanaman masing-masing diperhatikan, demikian juga perpaduan warna-warninya dibuat serasi. Di taman ini mataku benar-benar berpesta,” kata Mia mengenang keindahan taman hasil rancangan Bung Karno itu.

Ke vila itulah Bung Karno mengundang para pelukis berlibur di tahun 1944. Selain Sudjojono dan dirinya, seingat Mia, yang diundang Bung Karno antara lain Tjiroto, Ernest Dezentje, dan beberapa pelukis yang Mia lupa namanya.

Selepas makan malam, di dekat perapian mereka dijamu Bung Karno musik kecapi yang penampilnya selalu ditanggap Bung Karno setiap kali beristirahat di sana. Setelah kroket yang dibuat Fatmawati dan Mia sebagai hidangan teman ngobrol disajikan, Dezentje pun mulai bercerita.

“Zus Fat meringkuk di dipan, mendengarkan Dezentje bercerita macam-macam. Ia memang pandai mendongeng,” kata Mia.

Dezentje merupakan pelukis pengusung “Mooie Indie”. Ia, sebagaimana ditulis Aoh Kartahadimadja dalam Beberapa Paham Angkatan ’45, pernah meraih medali emas dalam pameran di New York.

“Ernest Dezentje lahir di Jatinegara, Jakarta pada 17 Agustus 1885 dari sebuah keluarga kaya. Ayahnya merupakan Belanda keturunan Prancis, ibunya seorang Indonesia keturunan Belanda. Dia baru mulai melukis di usia 30-an tahun,” tulis Agus Dermawan T dalam A Collector’s Journey: Modern Painting in Indonesia. 

Cerita Dezentje sukses membuat Fatmawati larut ke dalamnya. Bahkan, Fatmawati sampai meringkuk ke dalam selimut ketika mendengarkan cerita seramnya.

Esok paginya, usai menikmati kopi pagi para tamu diajak Bung Karno ke Telaga Warna. Hanya Fatmawati dan Mia yang tidak diajak karena keduanya sedang hamil.

Momen itu kemudian digunakan Fatmawati untuk menyiapkan sarapan. Ditemani Mia, Fatmawati membuat nasi goreng. Namun belum lagi proses memasak itu selesai, suara Bung Karno mengatakan “tamu-tamumu sudah lapar” terdengar dari dapur. Fatmawati pun menjawab agar menunggu sebentar.

“Nasi gorengnya kurang asin,” kata Fatmawati yang langsung menaburkan garam ke dalam penggorengan.

“Apa tidak perlu dihaluskan dulu, Zus?” kata Mia yang bingung kepada Fatmawati.

“Apa tidak bisa hancur sendiri?” kata Fatmawati balik bertanya.

Begitu selesai, nasi goreng pun dihidangkan. Para tamu menikmatinya tanpa suara. Selain lapar di tengah hawa yang dingin itu, mereka lelah usai berjalan ke telaga. Namun tak berapa lama kemudian, suara Bung Karno memecah santap pagi yang tenang itu.

“Waduh! Apa ini kok garam masih utuh?” kata Bung Karno.

 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar