Eks Napi Korupsi Maju Pilkada, MK Diharapkan Kabulkan Uji Materi UU No 10
TRANSKEPRI.COM. JAKARTA - KPU gagal memasukan Peraturan KPU (PKPU) terkait larangan narapidana kasus korupsi maju dalam Pilkada serentak 2020. Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, wajar jika masyarakat merasakan kekecewaan terhadap kegagalan KPU melarang koruptor ikut Pilkada.
"Itulah kenapa kami menaruh harapan besar bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengabulkan permohonan uji materi kami (ICW dan Perludem) atas pencalonan mantan napi Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang akan diputus pada Rabu, 11 Desember 2019 Pukul 10.00 WIB mendatang," kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini kepada SINDOnews, Senin (9/10/2019).
Titi berharap MK akan memberikan kejelasan dan harapan baru bagi masyarakat mendapatkan calon kepala daerah yang bersih dan berintegritas. Menurut dia, jika tidak dengan putusan MK, di tengah kondisi DPR yang tidak ingin mengubah UU Pilkada, maka polemik soal larangan napi ini tidak akan pernah berhenti. Titi menganggap, ini upaya para penggugat untuk menjaga agar pilkada bisa terbebas dari calon-calon yang bermasalah dan membawa risiko bagi publik.
Titi menjelaskan, uji materi dengan nomor teregistrasi 56/PUU-XVII/2019 terkait Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dimohonkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), yang diwakili Adnan Topan Husodo dan Perludem yang diwakili oleh Titi Anggraini serta kuasa hukum Donal Fariz, dan kawan-kawan.
”Permohonan itu belum diputus oleh MK. Kami ajukan permohonan baru. Nah baru akan putus 11 Desember nanti. Tapi permohonan kami bukan hanya untuk napi koruptor, tapi untuk semua mantan napi yang diancam dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun atau lebih," jelasnya.
Berikut permohonan yang diajukan Perludem dan ICW kepada MK yakni, menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa, tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang”.
Sehingga, Pasal a quo selengkapnya berbunyi, calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
Tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 10 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang. (ssb/sindonews)
Tulis Komentar