OPINI
Buntut Panjang Disahkannya UU Cipta Kerja
Oleh: Linawati
Mahasiswa Stisipiol Raja Haji Jurusan Sosiologi
Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) telah disahkan DPR RI menjadi Undang-Undang (UU) melalui rapat paripurna, Senin (5/10/2020).
Meski demikian, sejumlah respons hingga kini masih terus menuai polemik. Ada pihak yang kecewa dan menolak. Ada juga yang mengapresiasi pengesahan UU Ciptaker. Melihat kenyataan yang demikian, logis adanya pengesahan UU Ciptaker tersebut kini menjadi sorotan publik. Secara garis besar, RUU Ciptaker yang saat ini sudah menjadi UU Ciptaker pada dasarnya terdiri dari 15 bab dan 174 pasal.
Adapun yang dibahas mencakup peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan perizinan hingga perlindungan serta pemberdayaan UMKM dan koperasi. Isu ketenagakerjaan, riset, dan inovasi, kemudahan berusaha, serta pengadaan lahan juga menjadi bagian dalam beleid ini.
Cakupan berikutnya, kawasan ekonomi, investasi pemerintah pusat dan proyek strategis nasional, serta dukungan administrasi pemerintah.
Salah satu isu yang kontroversi diantaranya. Pertama, adanya penghapusan upah minimum kabupaten/kota (UMK), diganti dengan upah minimum provinsi (UMP) yang dinilai lebih rendah.
Kedua, omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan, Pasal 78 dinyatakan waktu lembur dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu. Ketentuan tersebut, lebih lama dibandingkan UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menyebut kerja lembur dalam sehari maksimal tiga jam dan 14 jam dalam satu minggu.
Ketiga, pengaturan waktu berakhirnya perjanjian kerja. Tepatnya, di Pasal 61 UU Ciptaker, waktu kontrak berada di tangan pengusaha, sehingga berpotensi membuat status kontrak pekerja abadi, bahkan pengusaha dinilai dapat mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.
Berangkat dari isu yang kontroversi tersebut, sekiranya kita publik tidak harus larut dalam polemik. Kini, saatnya kita publik berpikir kritis, peka dan arif dalam mensikapi pengesahan UU Ciptaker.
Begitupun, bagi pemerintah. Jika pemerintah percaya bahwa UU ini memang menguntungkan rakyat maka tidak perlu dibatalkan meski didemo kalangan buruh. Tapi kalau UU Ciptaker merugikan rakyat, UU ini layak ditinjau ulang.
Buruh dan mahasiswa di seluruh Indonesia merencanakan unjuk rasa untuk menolak pengesahan Omnibus Law pada periode 6-8 Oktober 2020. Apakah hari ini menjadi puncak aksi nasional tersebut. Gelombang massa yang menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja telah dilaksanakan sejak Selasa, 6 Oktober 2020, setelah undang-undang ini disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin sore. Ribuan buruh di berbagai daerah juga melancarkan Pemogokan Umum Rakyat Indonesia, selama tiga hari mulai 6-8 Oktober 2020.
Sejumlah informasi terkait puncak aksi demo juga rencananya akan dilaksanakan pada hari ini di depan gedung DPR/MPR RI Senayan dan Istana. Melalui informasi yang IDN Times terima, sejumlah massa rencananya akan turun DPR menuntut penolakan pengesahan UU Cipta Kerja pada pukul 08.00 WIB. Jumlah massa yang akan hadir sekitar 5 ribu orang lebih.
Sebelumnya, organisasi gerakan rakyat yang tergabung dalam GEBRAK dan aliansi-aliansi buruh daerah siap melangsungkan aksi nasional dengan tajuk Pemogokan Umum Rakyat Indonesia selama tiga hari sejak 6-8 Oktober 2020.
Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan aksi akan dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia, dan puncaknya akan berlangsung di depan Gedung DPR pada Kamis, 8 Oktober 2020. Selanjutnya, pada tanggal 8 Oktober 2020 aksi besar-besaran akan dilakukan di depan gedung DPR-RI dan Pemerintah Daerah masing-masing Kota," kata Nining dalam konferensi pers yang berlangsung secara daring, Minggu, 4 Oktober 2020.
Dalam konferensi pers ini sejumlah organisasi buruh dan mahasiswa juga menyerukan nada yang sama, bahwa mereka akan melangsungkan aksi serupa di daerah mereka masing-masing.
Aksi ini akan berlangsung di puluhan kota mulai dari Jakarta, Tangerang, Banten, Bogor, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Cimahi, Sumedang, Bandung Raya, Garut, Tasikmala. ***
Tulis Komentar