Wak Abas Bertahan Sendirian Jaga Warisan Budaya Batam

M.Abas Sang Raja Gasing Batam

TRANSKEPRI.COM,  BATAM  – Di tengah maraknya kampanye pelestarian budaya, nasib gasing tradisional Belakang Padang justru kian memprihatinkan. Ikon yang pernah mengharumkan nama Batam hingga tingkat ASEAN ini perlahan kehilangan ruang hidupnya di tanah kelahiran sendiri.

Gasing Belakang Padang sempat berjaya melalui sosok H. Jumain, yang dikenal sebagai Presiden Gasing ASEAN. Dentuman gasing kala itu menjadi simbol identitas dan kebanggaan masyarakat pesisir. Namun, setelah kepergian tokoh tersebut, tradisi gasing perlahan tenggelam tanpa regenerasi dan perhatian berkelanjutan.

Belakang Padang, Dari Pusat Tradisi Menjadi Arena Sunyi

Arena permainan gasing yang dahulu ramai kini sunyi dan ditumbuhi rumput liar. Aktivitas budaya yang pernah mengundang wisatawan, anak-anak, dan komunitas antar daerah, nyaris tak terdengar lagi.

Di tengah kondisi tersebut, hanya satu nama yang masih setia menjaga bara tradisi: Muhammad Abas, akrab disapa Wak Abas.

Wak Abas, Penjaga Terakhir Gasing Belakang Padang

Tanpa jabatan resmi ataupun dukungan lembaga, Wak Abas terus mempertahankan keberadaan gasing tradisional Belakang Padang. Sehari-hari ia bekerja sebagai buruh, pencari pasir, dan nelayan. Namun di luar pekerjaan itu, ia mengabdikan hidupnya untuk gasing.

“Kalau bicara gasing Belakang Padang hari ini, saya sedih. Sedih yang menangis tapi tak berair mata,” ujar Wak Abas lirih.

Dengan biaya pribadi, Wak Abas membawa gasing ke berbagai daerah seperti Bekasi, Bangka Belitung, Pontianak, hingga Karimun, sekadar membuktikan bahwa Batam masih memiliki tradisi gasing yang hidup.

Monumen Ada, Turnamen Nyaris Tak Pernah

Ironi pelestarian budaya terlihat jelas. Meski Batam memiliki monumen gasing, turnamen resmi hampir tidak pernah digelar. Dalam lima tahun terakhir, hanya satu turnamen yang terlaksana, itu pun digelar oleh kepolisian dalam rangka Hari Bhayangkara ke-79 tahun 2025.

“Kami sangat berterima kasih kepada Bapak Kapolda Kepri Irjen Asep Safrudin. Gasing bukan urusan polisi, tapi justru mereka yang memberi kami ruang bermain,” kata Wak Abas.

Gasing Raksasa yang Berakhir Dibakar

Pada masa pandemi 2020, Wak Abas sempat berinisiatif membuat gasing raksasa sebagai daya tarik wisata budaya. Gasing berdiameter 2,4 meter, tinggi 1,2 meter, dan berat 20 kilogram itu dibuat dengan dana pribadi sekitar Rp7 juta.

Namun minimnya perhatian dan dukungan membuat karya tersebut tak pernah difungsikan. Hingga akhirnya, dengan berat hati, Wak Abas membakar hasil karyanya sendiri.

“Saya lebih baik membakar harapan, daripada membiarkannya dipermalukan,” tuturnya.

Harapan Pelestarian Budaya dari Seorang Diri

Kini di usia 50 tahun, Wak Abas tetap melanjutkan perjuangan. Dari hasil kerja kasar, ia membangun arena gasing kecil di samping rumahnya. Impiannya sederhana: menggelar turnamen mandiri, melatih anak-anak, dan memperkenalkan gasing Belakang Padang kepada wisatawan.

“Saya tidak mau mengemis. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa gasing Belakang Padang masih ada,” tegasnya.

Warisan yang Bertahan Berkat Satu Orang

Nama Wak Abas mungkin tak tercatat di prasasti atau baliho budaya. Namun jika suatu hari sejarah bertanya siapa penjaga terakhir gasing Belakang Padang, jawabannya akan satu: Wak Abas.

Selama tali gasing masih berputar di tangannya, tradisi itu belum mati. Belakang Padang masih memiliki harapan — sekecil apa pun — yang bertumpu pada keteguhan satu orang menjaga budaya nenek moyang.

(Jonkavi)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar