Pengamat Asing Kritisi Penanganan COVID-19 di Indonesia

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Foto/SINDOphoto

TRANSKEPRI.COM. JAKARTA - Analis dari Nomura Holdings Inc mengkritik keras pemerintah Indonesia yang dianggap sebagai pemerintah paling lamban dalam merespons pandemi virus corona baru, COVID-19. Fakta dari data menunjukkan, jumlah kematian di Indonesia sudah mencapai 181 orang, menyalip angka kematian di Korea Selatan (Korsel) 174 orang.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan pandemi COVID-19, Achmad Yurianto, pada Jumat kemarin, mengatakan jumlah kasus COVID-19 naik menjadi 1.986 setelah ada tambahan 196 kasus baru dalam 24 jam terakhir. Jumlah korban meninggal 181 orang setelah ada tambahan 11 korban baru. Sejauh ini 134 pasien berhasil disembuhkan.

Korsel yang semula jadi salah satu negara terparah setelah China melaporkan 10.062 kasus infeksi COVID-19 dengan 174 orang di antaranya telah meninggal. Sejauh ini 6.021 pasien berhasil disembuhkan.
Menurut analisis Nomura Holdings Inc, Indonesia yang jadi negara terpadat keempat di dunia berpotensi jadi pusat atau episentrum pandemi COVID-19 berikutnya bersama India dan Filipina. Alasannya, selain populasi yang besar, infrastruktur perawatan kesehatan dan jaring pengaman sosial lemah.

Menurut Nomura, angka kematian yang tinggi untuk wilayah Asia Tenggara menjadi indikasi bahwa jumlah kasus infeksi COVID-19 yang sebenarnya di Indonesia kemungkinan jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan. Nomura menyoroti kurangnya kapasitas tes COVID-19.

Lebih lanjut, Nomura dalam laporannya hari Jumat, menggarisbawahi penerapan pembatasan berskala besar oleh pemerintah Presiden Joko Widodo yang dimulai bulan April dan kemungkinan untuk jangka waktu yang lama. Namun, langkah itu dinilai telah terlambat.

“Kami pikir Indonesia adalah yang paling lambat dalam mengambil tindakan tegas dan oleh karena itu paling berisiko tertundanya penanggulangan wabah di dalam perbatasannya, dengan konsekuensi ekonomi negatif yang lebih besar,” demikian analisis Nomura yang dipimpin oleh Sonal Varma dalam laporannya, seperti dikutip Bloomberg, Sabtu (4/4/2020).
"Kekhawatiran yang segera adalah liburan mendatang, yang berisiko meningkatkan penularan karena lonjakan perjalanan domestik," lanjut Nomura merujuk pada tradisi mudik Lebaran.

Presiden Jokowi telah menolak seruan lockdown untuk wilayah Indonesia, baik parsial maupun total. Pertimbangan presiden adalah lockdown akan melumpuhkan seluruh sektor kehidupan, termasuk ekonomi negara, dan imbasnya akan menyengsarakan rakyat terutama dari kalangan berpenghasilan rendah. Jokowi pernah menyinggung efek buruk lockdown, yakni lumpuhnya semua sektor kegiatan, termasuk aktivitas ekonomi dan transportasi.

Jokowi, yang pada hari Kamis mendesak orang-orang untuk menghindari perjalanan dan mempraktikkan social distancing untuk mencegah penyebaran virus, telah memerintahkan sejumlah langkah-langkah dukungan pendapatan bagi para penerima upah harian, pekerja sektor informal dan pedagang asongan.

Pemerintah juga telah berjanji untuk melakukan apa pun guna membatasi kerusakan pada ekonomi terbesar Asia Tenggara akibat pandemi COVID-19, dengan mengalokasikan anggaran Rp 405 triliun untuk mendukung sistem kesehatan dan ekonomi. Ini juga untuk sementara menghapus batas defisit anggaran 3 persen dari produk domestik bruto untuk memungkinkan pemerintah meningkatkan pengeluaran. (ssb)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar