Aspek Hukum Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)

Yessy Ariessandy S, Farm, Apt

Seiring dengan berkembangnya pelayanan kesehatan maka peranan hukum dalam bidang pelayanan kesehatan semakin meningkat. Menurut Pasal 52 UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan terdiri atas pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat.

Pelayanan kesehatan tersebut menurut UU ini meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif (promosi), preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), dan rehabilitatif (pemeliharaan). Di dalam melakukan pelayanan kesehatan terlibat beberapa pihak yaitu pengguna jasa pelayanan kesehatan (pasien) dan penyedia pelayanan kesehatan (tenaga kesehatan).

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan kegiatan yang menggambarkan adanya hubungan antara pasien dengan tenaga medis, pelaksanaannya dapat dilakukan di rumah sakit, puskesmas, klinik ataupun praktek pribadi. Persetujuan tindakan medis ( inform consent ) dalam pelayanan kesehatan merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh dokter terhadap pasien ditinjau dari aspek hukumnya.

Persetujuan tindakan medis (informed consent) merupakan izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara bebas, sadar dan rasional setelah memperoleh informasi yang lengkap, valid dan akurat dipahami dari Dokter tentang keadaan penyakitnya serta tindakan medis yang akan diperolehnya yang telah diatur sebagai hak pasien dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 56 ayat 2 dan pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia N0. 290/MENKES/PER/2008 Tentang Persetujuan tindakan Kedokteran.

Bentuk dari persetujuan tindakan medis (informed consent) terdiri dari pernyataan (expressed) yaitu persetujuan tindakan medis secara lisan (oral), dan tulisan (written) bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan biasanya sedangkan pernyataan yang dianggap diberikan (implied consent) yaitu persetujuan tindakan medis dalam keadaan biasa (normal) dan dalam keadaaan gawat darurat (emergency).

Hubungan antara dokter dan pasien pada dasarnya bertumpu pada 2 (dua) macam hak dasar yang sifatnya individual, yaitu hak atas informasi (The Right to Information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (The Right of Self Determination).

Hak untuk menentukan nasib sendiri (The Right of Self Determination) merupakan hak dasar individual yang sebagai hak atas tubuhnya sendiri. Sedangkan hak atas informasi (The Right to Information), atau hak untuk memberikan persetujuan, yang biasa disebut sebagai "Informed Consent".

Berdasarkan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 45 ayat 3 menyatakan Penjelasan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) sekurang-kurangnya mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan,  alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Yang berkompeten dapat memberikan persetujuan tindakan medis adalah pasien yang kompeten mempunyai kapabilitas untuk memutuskan, orang yang dapat mewakili pasien misalnya keluarga terdekat atau wali.

Sebaliknya yang memberi Informed Consent adalah Dokter yang akan melakukan tindakan atau salah satu anggota tim pelaksana tindakan dan Dokter yang memperoleh delegasi dari dokter yang akan melakukan tindakan, asalkan dia mampu memberikan penjelasan.

Dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 69 tahun 2014 Tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien telah dituangkan Hak Pasien yang salah satunya adalah memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.

Penolakan tindakan medis sebaiknya tertulis, melalui pemberian informasi dan diskusi, persetujuan dapat dibatalkan asalkan sebelum tindakan medis dilakukan, pembatalan tindakan medis harus tertulis atau dicatat di dalam rekam medis. 

Dalam keadaan gawat darurat medis, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Dalam hal persetujuan dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.

Setelah tindakan medis selesai dilakukan Dokter wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat. Hal ini telah diatur dalm Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia N0. 290/MENKES/PER/2008 Tentang Persetujuan tindakan Kedokteran pasal 4 ayat 1,2 dan 3. Mengamati dari penjelasan di atas tentang ruang lingkup dan dasar hukum yang mengatur Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent).

Peran dan tanggung jawab dokter terhadap pelaksanaan tindakan medis berdasarkan imformed consent sangat penting untuk mencegah kemungkinan yang akan terjadi kepada pasien nantinya sehingga terdapat adanya perlindungan hukum baik bagi dokter maupun pasien. Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya.

Hukum yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Keharusan adanya Informed Consent secara tertulis yang ditandatangani oleh pasien sebelum dilakukannya tindakan medis, karena erat kaitannya dengan pendokumentasiannya ke dalam catatan medik (Medical Record) dimaksudkan guna kelengkapan administrasi Rumah Sakit. Hal ini disebabkan, Rumah Sakit tempat dilakukannya tindakan medis tersebut, maka harus memenuhi standar pelayanan medis sesuai dengan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan No. 436/MENKES/SK/VI/1993 Tentang Berlakunya Standar Pelayanan di Rumah Sakit.

Apabila tindakan medis yang dilakukan tanpa adanya Informed Consent, maka Dokter dan Rumah Sakit yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administratif. Dengan demikian, penandatanganan Informed Consent secara tertulis yang dilakukan oleh pasien sebenarnya dimaksudkan sebagai penegasan atau pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter memberikan penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukannya.

Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya Informed Consent secara tertulis, maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda tangan bertanggung jawab dalam menyerahkan sebagian tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan, beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya.

Penerapan persetujuan tindakan medis (informed consent), antara dokter dengan pasien hendaknya saling menyadari bahwa masing-masing pihak punya hak dan kewajiban yang wajib dijunjung tinggi. Hal tersebut perlu untuk dipahami agar tidak timbul masalah yang dapat merugikan dikemudian hari dan dapat merugikan semua pihak.

Antara pasien dan dokter hendaknya dapat lebih meningkatkan komunikasi, sebab dengan komunikasi yang baik maka penerapan persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat berjalan dengan baik. Selain itu dengan adanya komunikasi yang baik akan lebih meminimalkan resiko terjadinya malpraktek di bidang medis. **

Penulis:

Yessy Ariessandy, S. Farm., Apt.
Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Prodi Hukum Kesehatan Tahun 2022
Universitas Gadjah Mada


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar