TRANSKEPRI.COM.JAKARTA- Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar mengakui adanya potongan sebesar 13,7 persen dana donasi untuk keperluan operasional.
"Kenapa ACT 13,7 persen? Lebih karena ACT bukan lembaga zakat, ada donasi-donasi umum masyarakat, ada CSR, ada zakat juga," kata Ibnu dalam konferensi pers ACT di Jakarta Selatan, Senin (4/7/2022).
Menurut Ibnu, lembaganya membutuhkan dana distribusi yang cukup besar karena memiliki banyak cabang di berbagai negara.
"ACT butuh dana distribusi dari dana lebih (banyak) karena banyaknya cabang dan negara, diambil dari dana nonzakat," imbuhnya.
Di sisi lain, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengungkapkan, mestinya aktivitas pengumpulan dana sumbangan publik tidak memotong dana yang akan diberikan kepada penerima bantuan.
Dana operasional, kata dia, mestinya menggunakan keuntungan dari hasil investasi dana donasi.
"Artinya bukan menyumbang Rp1 juta lalu dipotong Rp200 ribu untuk operasional," kata Ivan dalam Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Selasa (5/7/2022).
Melalui rilis pers resmi yang diterima KOMPAS TV, Senin (4/7), ACT menyatakan laporan keuangan lembaga itu telah mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Kementerian Keuangan.
Terkait hal itu, Direktur Pemberitaan Tempo Budi Setyarso menjelaskan, pihaknya menemukan adanya rekayasa dalam pencatatan antara utang dan juga modal di dalam laporan keuangan lembaga itu.
Ia menambahkan, pihaknya memiliki bukti yang kuat terkait rekayasa tersebut.
"Jadi ketika ada klaim wajar tanpa pengecualian, kami juga mendapatkan notulen-notulen rapat untuk memutuskan hal itu," ungkap Budi dalam Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Senin (4/7).
Informasi-informasi tersebut, jelas Budi, diperoleh dari pihak-pihak yang mengetahui dan tidak setuju dengan praktik yang dinilai tak lazim itu.
"Kan banyak juga orang-orang yang barangkali melihat ini sebuah praktik yang tidak lazim, sehingga mereka tergerak hatinya untuk membuka kepada publik melalui Majalah Tempo," jelasnya.
Sebelumnya, Majalah Tempo mengungkap dugaan penyelewengan dana donasi ACT untuk kepentingan pribadi petinggi-petingginya.
Berikut ini rincian gaji beberapa petinggi ACT berdasarkan laporan Majalah Tempo:
- Ketua Dewan Pembina mendapatkan gaji Rp250 juta per bulan.
- Senior Vice President Rp150 juta per bulan.
- Vice President Rp80 juta per bulan.
- Direktur Eksekutif Rp50 juta per bulan.
Hal tersebut diamini oleh Ivan dengan mengatakan bahwa PPATK menemukan indikasi pidana penggelapan, karena adanya penggunaan dana sumbangan publik untuk kepentingan pribadi.
"Ya penggelapan kan bisa, dugaan PPATK, ada dana-dana yang ditransaksikan ke rekening pribadi pembina dan segala macam," kata dia.
Menurut Ivan, modus penggelapan dana hasil pengumpulan sumbangan publik untuk kepentingan pribadi sangat umum terjadi.
"Modus begini kan memang sangat umum terjadi di modus-modus aktivitas penghimpunan (dana) seperti ini, baik itu untuk kepentingan bantuan, investasi, dan segala macam," imbuhnya.
Melalui keterangan resmi yang diterima KOMPAS TV, pihak ACT mengatakan bahwa sejak Januari 2022, lembaga itu telah melakukan restrukturisasi organisasi dengan mengganti Ketua Pembina ACT dan merombak kebijakan internal.
Ibnu menerangkan, pihaknya telah melakukan restrukturisasi manajemen, fasilitas dan budaya kerja serta penyesuaian masa jabatan pengurus menjadi tiga tahun, dan pembina menjadi empat tahun.
"Sebelumnya, rata-rata biaya operasional termasuk gaji para pimpinan pada tahun 2017 hingga 2021, adalah 13,7 persen. Rasionalisasi pun kami lakukan sejak Januari 2022 lalu. Insyaallah, target kita adalah dana operasional yang bersumber dari donasi adalah sebesar 0 persen pada 2025," kata Ibnu. (tm)
Tulis Komentar