Memahami Strategi Nol Covid China, Akankah Bertahan Melawan Omicron?

China Lockdown Kota Karena Lonjakan Kasus Covid-19

TRANSKEPRI.COM, CHINA - Pada 23 Januari 2020, China menelurkan “nol Covid”. Menghadapi ancaman virus misterius, pemerintah di Wuhan memberlakukan lockdown pertama di dunia pada 11 juta penduduknya, menandai awal dari kebijakan tanpa toleransi yang akan menentukan respons pandemi China.

Dua tahun kemudian, penyebaran kilat varian virus corona Omicron dan melonjaknya biaya untuk mengendalikannya menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan pendekatan China tersebut. Tetapi bahkan ketika varian itu mendorong bagian lain dunia untuk hidup dengan virus, China kemungkinan akan tetap pada strategi pemberantasannya kendati akan ada korban ekonomi dan sosial dari lockkdown yang lebih ketat, menurut para pengamat.
“Omicron menimbulkan ancaman yang lebih besar (karena menular dua sampai tiga kali labih mudah daripada Delta) terhadap kebijakan nol-Covid daripada varian sebelumnya,” jelas Ben Cowling, ahli epidemiologi di Universitas Hong Kong, kepada Al Jazeera, dikutip Senin (24/1).

“Mengingat alat yang tersedia di (China) daratan, saya pikir mereka bahkan akan dapat mengendalikan wabah Omicron. Tapi itu akan memakan banyak sumber daya dan menyebabkan banyak gangguan dalam prosesnya.”

Pemerintah China berlomba untuk membasmi kasus Covid menjelang Olimpiade Musim Dingin, yang akan dibuka pada 4 Februari di Beijing. Pada Senin, pihak berwenang melaporkan 223 infeksi secara nasional, jumlah tertinggi dalam hampir dua tahun, meskipun kasus telah turun menjadi dua digit dalam beberapa hari terakhir.
Setelah seorang pekerja kantoran di Beijing menjadi orang pertama di ibu kota itu yang dites positif Omicron pada Minggu, pihak berwenang setempat segera menutup kompleks perumahan dan gedung kantornya, mengunci pekerja kerah putih di dalam.

Menyalahkan virus pada surat yang terkontaminasi dari Kanada, otoritas China juga mendesak penduduk untuk meminimalkan pembelian barang-barang luar negeri dan berhati-hati dalam menangani surat internasional, kendati para ahli luar negeri meragukan kemungkinan penularan tersebut.

Sebelum munculnya Omicron, pihak berwenang dalam beberapa pekan terakhir telah mengendalikan wabah varian Delta di Xi'an, provinsi Shanxi, dengan lockdown ketat yang disalahkan karena menyebabkan kekurangan makanan dan menyebabkan setidaknya dua ibu hamil mengalami keguguran.
Tetapi ketika satu wabah dikendalikan, wabah baru muncul di seluruh negeri.

Dalam gelombang terbaru, 69 klaster keluarga ditemukan di Tianjin, yang berbatasan dengan Beijing. Seluruh populasi kota yang berjumlah 14 juta dites Covid hanya dalam dua hari, yang oleh tabloid Global Times disebut-sebut sebagai bukti "keajaiban kecepatan" China dalam mengendalikan virus.

Di seberang perbatasan, Hong Kong meningkatkan langkah-langkah jarak sosial untuk menahan klaster Omicron yang berkembang, menghentikan pembelajaran tatap muka di sekolah, menutup bar dan klub malam, dan memberlakukan jam malam pukul sampai pukul 18.00 untuk makan di restoran.
Hong Kong juga memusnahkan 2.000 hamster dan hewan kecil, dengan alasan risiko penularan dari hewan ke manusia - yang tidak ada bukti langsungnya - setelah mendeteksi kasus pertama varian Delta dalam tiga bulan pada seorang karyawan di sebuah toko hewan.

Ahli virus dari Universitas Hong Kong, Jin Dong-Yan, mengatakan kepada Al Jazeera, "bijaksana" untuk menggunakan kontrol yang lebih ketat sehingga lebih banyak waktu yang tersedia untuk dapat memahami Omicron dengan lebih baik.

Namun Jin mengatakan tidak perlu panik, mengingat Omicron menimbulkan gejala yang lebih ringan dan tingkat kematian yang lebih rendah di Amerika Serikat dan Eropa.
Meskipun tindakan keras China disebut berhasil mengendalikan angka kematian tetap rendah, Jin mempertanyakan kebutuhan tindakan tersebut dari sudut pandang kesehatan masyarakat ketika virus berkembang.

“Bagi mereka, ini adalah masalah kehormatan nasional dan mereka percaya bahwa mereka memiliki strategi terbaik di dunia,” jelasnya.

“Jika kita bisa mengendalikan pandemi di Wuhan, kita bisa melakukan hal yang sama di tempat lain.”
Dukungan masyarakat
Beijing juga kemungkinan efektivitas vaksinnya terhadap varian baru, karena hasil berbasis laboratorium menunjukkan Sinovac tidak menghasilkan cukup antibodi untuk melindungi dari Omicron. Hal ini memperbesar kemungkinan lonjakan kasus dapat membanjiri sistem kesehatan masyarakat, meskipun cakupan vaksinasi tinggi.

“Saran saya adalah mereka harus menyesuaikan secara bertahap dan mengenali kenyataan di seluruh dunia tentang Covid-19,” jelas Jin.

"Mereka harus menghentikan kebijakan itu selangkah demi selangkah.”

Tidak seperti di negara-negara Barat, di mana penolakan lockdown dan kewajiban vaksin sedang meningkat, China tidak mengalami reaksi publik yang signifikan terhadap langkah-langkah pandemi yang keras.

Terlepas dari biayanya, strategi nol-Covid tampaknya mendulang dukungan publik yang luas dalam masyarakat China, menurut Christian Gobel, seorang profesor Studi China di Universitas Wina.

“Menurut saya juga orang-orang tidak menentang lockdown karena mereka menganggap Covid sangat serius,” jelasnya kepada Al Jazeera.

“Ada budaya bahwa kebebasan individu dapat dikorbankan untuk kepentingan kolektif,” kata Lynette Ong, seorang ilmuwan politik di Universitas Toronto, kepada Al Jazeera.

“Dan krisis kesehatan cukup banyak dilihat sebagai penyebab yang dapat dibenarkan untuk mengorbankan kebebasan individu.”Ekonomi merosot
Awal bulan ini, konsultan yang berbasis di AS, Eurasia Group, mengutip kebijakan tanpa toleransi China sebagai risiko politik paling signifikan di tahun mendatang, beralasan tekanan yang akan ditimbulkannya pada rantai pasokan global dan pasar negara berkembang.

Lockdown sangat ketatuntuk mengendalikan wabah di masa depan dapat “menyebabkan gangguan ekonomi yang lebih besar, lebih banyak intervensi negara, dan populasi yang lebih tidak puas bertentangan dengan mantra kemenangan 'China mengalahkan Covid' dari media yang dikelola pemerintah," tulis konsultan itu dalam sebuah laporan. diterbitkan pada 3 Januari.

“Keberhasilan awal dari nol Covid dan keterikatan pribadi Xi (Jinping) membuatnya tidak mungkin untuk mengubah arah,” tambah laporan itu.

Pada Desember, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China turun dari 5,4 persen menjadi 5,1 persen pada 2022. Ini akan menjadi pertumbuhan paling lambat sejak 1990-an dan merosot tajam dari ekspansi 8,1 persen tahun lalu.

Banyak analis percaya kebijakan tersebut hampir pasti akan tetap berlaku setidaknya sampai setelah Kongres Partai, di mana Presiden Xi Jinping diperkirakan akan mengamankan masa jabatan ketiganya.

Setelah itu, jalan di depan kurang jelas.

“Skenario ideal untuk China daratan adalah virus terus berkembang dan dalam setahun, atau dalam waktu dekat, varian yang beredar bahkan lebih ringan dan tidak menimbulkan ancaman kesehatan masyarakat terutama dengan cakupan vaksin yang lebih tinggi,” jelas Cowling.

“Dan China dapat melonggarkan kebijakan Covid-nya tanpa merasakan gelombang besar atau dampak kesehatan masyarakat yang besar.”

Bagi Beijing, yang telah melakukan upaya luar biasa untuk mengendalikan virus, kapan atau apakah skenario seperti itu akan terjadi sepenuhnya di luar kendalinya.  (mrdk)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar