Surat yang Disukai Rasulullah Melebihi Dunia dan Seisinya
Ada satu surat dalam Al-Qur'an yang membuat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahagia ketika Allah menurunkannya. Kesedihan yang menyelimuti Rasulullah dan para sahabat seketika hilang saat menerima wahyu ini.
Surat yang dimaksud ialah Surah Al-Fath (kemenangan), surat ke-48 dalam Al-Qur'an terdiri atas 29 ayat. Surat ini masuk dalam golongan surat-surat Madaniyyah, diturunkan sesudah Surat Al-Jum'ah.
Dinamakan Al-Fath diambil dari perkataan Fat-han yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Sebagian besar dari ayat-ayat surat ini menerangkan kemenangan yang dicapai Nabi Muhammad dalam peperangan-peperangannya.
Beliau sangat gembira dengan turunnya ayat pertama surat ini. Kegembiraan ini dinyatakan dalam sabda beliau yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari: "Sesungguhnya telah diturunkan kepadaku satu surat, yang surat itu benar-benar lebih aku cintai dari seluruh apa yang disinari matahari".
Riwayat lain dari Umar Bin Khattan disebutkan, Nabi bersabda: "Telah turun kepadaku tadi malam, surah yang lebih aku cintai dari pada dunia dan seisinya. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Niscaya Allah akan mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang".
Berikut Isi Surat Al-Fath Ayat 1:
اِنَّا فَتَحۡنَا لَكَ فَتۡحًا مُّبِيۡنًا
Innaa fatahnaa laka Fatham Mubiinaa
"Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (Al-Fath: 1)
Kebanyakan ahli tafsir mengatakan, ayat ini diturunkan berkaitan dengan perdamaian Hudaibiyyah. Menurut pendapat Ibnu 'Abbas, kemenangan dalam ayat ini adalah Perdamaian Hudaibiyyah karena perdamaian itu menjadi sebab terjadinya penaklukan Mekah.
Dari Ibnu Mas'ud bahwa ia berkata, "Kalian berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kemenangan dalam ayat ini ialah penaklukan Mekah, sedangkan kami berpendapat Perdamaian Hudaibiyyah. Pada riwayat yang lain diterangkan bahwa Surah Al-Fath ini diturunkan pada suatu tempat yang terletak antara Mekah dan Madinah, setelah terjadi Perdamaian Hudaibiyyah, mulai dari permulaan sampai akhir surah.
Az-Zuhri mengatakan: "Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan yang ditimbulkan oleh Perdamaian Hudaibiyyah dalam sejarah penyebaran agama Islam pada masa Rasulullah. Sejak terjadinya perdamaian itu, terjadilah hubungan yang langsung antara orang-orang Muslim dan orang-orang musyrik Mekah.
Orang Muslim dapat menginjak kembali kampung halaman dan bertemu dengan keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Dalam hubungan dan pergaulan yang demikian itu, orang-orang kafir telah mendengar secara langsung percakapan kaum Muslimin, baik yang dilakukan sesama kaum Muslimin, maupun yang dilakukan dengan orang kafir sehingga dalam masa tiga tahun, banyak di antara mereka yang masuk Islam.
Demikianlah proses itu berlangsung sampai saat penaklukan Mekah, kaum Muslimin dapat memasuki kota itu tanpa pertumpahan darah.
Perjanjian Hudaibiyyah
Hudaibiyyah adalah nama sebuah desa, kira-kira 30 km di sebelah barat Kota Makkah. Nama itu berasal dari nama sebuah perigi yang ada di desa tersebut. Nama desa itu kemudian dijadikan sebagai nama suatu perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir Makkah, yang terjadi pada bulan Zulkaidah tahun 6 H (Februari 628 M) di desa itu.
Pada tahun keenam Hijriyah, Nabi Muhammad beserta kaum Muslimin yang berjumlah hampir 1.500 orang memutuskan untuk berangkat ke Makah untuk melepaskan rasa rindu mereka kepada Baitullah kiblat mereka, dengan melakukan umrah dan untuk melepaskan rasa rindu kepada sanak keluarga yang telah lama mereka tinggalkan.
Untuk menghilangkan prasangka yang tidak benar dari orang kafir Mekah, maka kaum Muslimin mengenakan pakaian ihram, membawa hewan-hewan untuk disembelih yang akan disedekahkan kepada penduduk Mekah. Mereka pun berangkat tidak membawa senjata, kecuali sekedar senjata yang biasa dibawa orang dalam perjalanan jauh.
Sesampainya di Hudaibiyyah, rombongan besar kaum Muslimin itu bertemu dengan Basyar bin Sufyan al-Ka'bi. Basyar mengatakan kepada Rasulullah bahwa orang-orang Quraisy telah mengetahui kedatangan beliau dan kaum Muslimin. Oleh karena itu, mereka telah mempersiapkan bala tentara dan senjata untuk menyambut kedatangan kaum Muslimin.
Mereka sedang berkumpul di dzi thuwa. Rasulullah lalu mengutus 'Utsman bin 'Affan menemui pimpinan dan pembesar Quraisy untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau beserta kaum Muslimin. Maka berangkatlah 'Utsman.
Kaum Muslimin menunggu-nunggu kepulangan 'Utsman, tetapi ia tidak juga kunjung kembali. Hal itu terjadi karena 'Utsman ditahan oleh pembesar-pembesar Quraisy. Kemudian tersiar berita di kalangan kaum Muslimin bahwa 'Utsman telah mati dibunuh oleh para pembesar Quraisy.
Mendengar berita itu, banyak kaum Muslimin yang telah hilang kesabarannya. Rasulullah bersumpah akan memerangi kaum kafir Quraisy. Menyaksikan itu, kaum Muslimin membaiat beliau bahwa mereka akan berperang bersama Nabi melawan kaum kafir. Hanya satu orang yang tidak membaiat, yaitu Jadd bin Qais al-Ansari. Baiat para sahabat itu diridai Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat 18 surah ini. Oleh karena itu, baiat itu disebut Bai'atur-Ridhwan yang berarti "Baiat yang diridai".
Bai'atur-Ridhwan ini menggetarkan hati orang-orang musyrik Mekah karena takut kaum Muslimin akan menuntut balas bagi kematian 'Utsman, sebagaimana yang mereka duga. Oleh karena itu, mereka mengirimkan utusan yang menyatakan bahwa berita tentang pembunuhan 'Utsman itu tidak benar dan mereka datang untuk berunding dengan Rasulullah. Perundingan itu menghasilkan perdamaian yang disebut Perjanjian Hudaibiyyah (Sulhul-Hudaibiyyah).
Di ayat berikutnya Allah berfirman yang artinya:"Agar Allah memberikan ampunan kepadamu (Muhammad) atas dosamu yang lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan menunjukimu ke jalan yang lurus, 3. dan agar Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak)." (QS Al-Fath: 2-3)
Tulis Komentar