Kala Soeharto Gagal Jegal Gus Dur di Muktamar Cipasung, Momentum Kemenangan Santri

Gus Dur akhirnya terpilih sebagai ketua PBNU untuk ketiga kalinya. Foto/nu.or.id

TRANSKEPRI.COM, JAKARTA - Sambil membentuk barisan melingkar, kader-kader muda NU berteriak. ” Soeharto has to go!, Soeharto has to go! (Soeharto harus pergi),” teriak mereka di depan pintu ruang sidang Muktamar NU di Ponpes Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, Desember 1994.

Teriakan itu bukan sekadar menunjukkan kelegaan NU dan para peserta bahwa muktamar akhirnya bisa memilih KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai ketua umum PBNU. Yel-yel tersebut sekaligus ingin mempertontonkan kekalahan Soeharto yang mencoba mengobok-obok NU.

Bagi NU dan kaum nahdliyin, inilah muktamar terpanas sepanjang sejarah organisasi tersebut. Sebab pada muktamar inilah NU menghadapi tekanan paling besar dari penguasa. Dimulai dari riak-riak kecil merespons sikap oposisi Gus Dur, pemerintahan Soeharto menumpuk segala daya di arena Muktamar Cipasung demi menghentikan langkah cucu pendiri NU itu.
Menurut Greg Barton, seorang Indonesianis penulis biografi Gus Dur, rezim penguasa sudah siap ketika dua pekan sebelum muktamar Gus Dur menyatakan kembali mencalonkan diri sebagai ketua umum PBNU. Meskipun, Gus Dur sempat menyatakan tak berminat menjadi ketua tanfidziyah lagi dan ingin menjadi Rais Am.

”Ia (Gus Dur) mencoba membenarkan sikapnya ini dengan mengatakan bahwa dia prihatin dengan apa yang mungkin dialami NU dan mengenai akan segera berakhirnya rezim Soeharto,” tulis Greg dalam buku berjudul Biografi Abdurrahman Wahid (2003).

“Akan ada badai dan laut akan sangat berombak. Dan lebih dari pada sebelumnya, NU akan memerlukan seorang kapten yang berpengalaman,” ucap Gus Dur yang dicatat Greg Barton.
Tentu saja, kapten berpengalaman yang dimaksud Gus Dur adalah dirinya. Gus Dur sudah dua kali mulus memenangkan pemilihan ketua PBNU sejak Muktamar NU 1984. Merespons langkah Gus Dur, tak kurang 1.500 tentara dan polisi dikerahkan, baik yang berseragam maupun intelijen. Secara formal mereka bertugas ”mengamankan” jalannnya muktamar.
Sebagian di antara mereka berbaur dengan peserta muktamar dengan pakaian sipil juga seragam banser. Selain personel, TNI juga mengerahkan sejumlah panser. Alih-alih mengamankan, kehadiran tentara dan panser-panser yang memenuhi arena muktamar justru difungsikan sebagai alat tekan untuk kubu Gus Dur. Ini baru soal pengamanan.
Di ruang sidang, pejabat dan petinggi militer mendominasi. Ingin menguasai opini peserta muktamar, 10 menteri dan jenderal bergiliran memberikan sambutan di acara pembukaan. Bahkan, menjelang pemilihan ketua umum PBNU, ruang sidang dijaga superketat. Ini dilakukan demi memenangkan Abu Hasan, kader NU yang memang didorong rezim untuk menandingi Gus Dur.
Tetapi di luar perkiraan rezim, ternyata Gus Dur menang dalam dua kali putaran pemilihan di bawah tekanan yang begitu rupa. Di putaran pertama, Gus Dur memperoleh 157 suara sedangkan Abu Hasan mendapatkan 136 suara. Dua nama lain yaitu Fahmi Saifuddin dan Chalid Mawardi masing-masing mendapatkan 17 dan 6 suara.

Hasil tersebut membuat suasana semakin tegang dan panas. Potensi chaos dengan kelompok pendukung Abu Hasan sangat tinggi. Gus Dur dan para pendukungnya pun belum tentu para bisa keluar dari ruang sidang dengan selamat karena gedung dikelilingi panser. Ketika pemungutan suara putaran kedua berlangsung, para kiai dan kader muda NU bermunajat agar NU dan nahdliyin diselamatkan.

Rupanya doa mereka dikabulkan. Hasil perhitungan suara akhir menempatkan Gus Dur sebagai pemanang dengan perolehan 174 suara, terpaut 32 suara dari Abu Hasan. Meskipun sempat menyisakan pertentangan hingga beberapa lama kemudian, Abu Hasan akhirnya menyadari apa yang terjadi. Dia menemui Gus Dur dan meminta maaf.

(net)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar