OPINI

Uji Materil PP 31 Tahun 2021 ke MA untuk Hak Retribusi Jasa Labuh di Kepri

Chaidar Rahmat

Oleh: Chaidar Rahmat
Pemerhati Kebijakan Pemerintah

 

Kalau dulu Sanur (Sani-Nurdin) mengikuti nasehat saya untuk menempuh yudisial review litigasi di MA, tentu pemprov yang sekarang ini tidak terjebak dengan “php” menangguk sumber pendapatan (PAD) retribusi labuh jangkar yang ratusan miliar bahkan hingga triliunan. 

Orang melayu memang baik hati, tak suka berkonflik. Karena lebih memilih jalur non litigasi untuk menyelesaikan sengketa kewenangan itu ditingkat Kemenkumham. 

Jalur sengketa ini memang tersedia lewat Permenkumham nomor 32/2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan Melalui Jalur Nonlitigasi. 

Permen ini pernah digugat di MA karena dianggap “jeruk makan jeruk” akan tetapi gugatan ditolak oleh MA walau bukan karena substansi gugatan dibenarkan melainkan karena objek perkaranya sudah hilang dengan terbitnya Permenkumham No.2/2019 tentang Penyelesian Disharmoni Peraturan Perundangan Melalui Mediasi.

Putusannya saat itu, Pusat akan merevisi PP tentang kepelabuhanan. Bahkan Kepri pernah diundang ke Pusat untuk membicarakan rancangan PP perubahan tersebut, sehingga memungkinkan pungutan retribusi labuh jangkar itu dipungut untuk objek retribusi di jenis pelabuhan apapun, asal masih di batas 12 mil laut. 

Sayangnya PP tentang kepelabuhanan tidak kunjung direvisi atau diterbitkan perubahan maupun penggantinya hingga kini. Sepertinya Putusan MA Nomor 10 P/HUM/2019 yang menolak gugatan uji materil atas Permenkumham nomor 32 Tahun 2017 di atas adalah alasan yang mungkin digunakan untuk menghentikan proses terbitnya revisi PP/64/2015 tentang Kepelabuhanan. 

Meski demikian, pada Februari 2021 lalu pemerintah telah menerbitkan PP/31/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran sebagai peraturan pelaksana UU/11/2020 tentang Cipta Kerja yang mencabut PP/64/2015 untuk menegaskan kembali soal kewenangan perizinan yang didasari “hirarki pelabuhan”, dimana kewenangan Gubernur hanyalah pada hirarki Pelabuhan Pengumpan Regional.   

Lalu Kepri yang telah selesai membahas dan mengundangkan perda RZWP3K merasa benar-benar berwenang menetapkan tata ruang wilayah lautnya untuk di antaranya pengaturan fungsi ruang sejumlah titik kepelabuhanan dalam batas wilayah 12 mil. Lalu terbitlah perubahan Perda tentang Pajak dan Retribusi yang menetapkan objek retribusi jasa kepelabuhanan itu disertai besaran tarif untuk labuh jangkar yang dikenakan untuk setiap operator BUP. 

Tentu sebelumnya telah dilakukan pembincaraan perihal rencana pungutan retribusi itu dengan menko investasi dan kemaritiman yang dianggap berwenang mengkoordinir kemenhub yang dipandang sebagai pihak terkait karena objek retribusi yang sama juga dikenakan PNBP. Meski disaat yang bersamaan bergulir omnibuslaw UU ciptaker yang melahirkan PP/40 dan PP/41 dengan konsekwensi semakin terdegredasinya kewenangan daerah baik dalam pengaturan tata ruang maupun perizinan. 

Berdasarkan PP nomor 41 kemudian BUP Batam milik otorita BP Batam dan beberapa BUP yang beroprasi di areal kepelabuhanan Batam semula menjadi objek retribusi Kepri terlepas karena masuk dalam kewenangan BP Batam. 

Terbitnya Surat Dirjen Perhubungan Laut tanggal 17 September lalu meyatakan Provinsi Kepri, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara telah mengenakan pungutan retribusi yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan merupakan pernyataan yang terang benderang mengungkap adanya konflik kewenangan. 

Untuk Provinsi Kepri sangat jelas disebutkan bahwa retribusi pelayanan jasa kepelabuhanan atas “Jasa Labuh” ke kapal-kapal dan BUP yang memanfaatkan perairan di radius 12 mil laut adalah menyalahi hirarki pelabuhan yang menjadi kewenangan perizinan gubernur. 

Sesuai PP/31/2021 hirarki pelabuhan dimaksud untuk kewenangan gubernur hanya sebatas “Pelabuhan Pengumpan Regional”. Maka atas dasar inilah, maka objek retribusi pelayanan jasa kepelabuhanan, jasa labuh yang menjadi lingkup kewenangann gubernur tidak bisa menjangkau hingga kapal-kapal yang berlabuh di luar daerah kepelabuhanan yang bukan dikelola langsung operator UPTD Dishub atau badan usaha pengelola jasa pelabuhan di luar daerah kepelabuhanan Pengumpan Regional provinsi kendati masih diradius 12 mil laut. 

Berdasarkan ini, maka Perda retribusi Provinsi Kepri dianggap telah melampui kewenangan karena mengatur tarif pelayanan jasa labuh jangkar untuk diberlakukan ke semua kapal-kapal dan BUP yang perizinannya diterbitkan oleh Kemenhub baik milik Pemerintah maupun swasta yang beroprasi di luar daerah kepelabuhanan Pengumpan Regional Provinsi. Disinilah letak silang sengketa kewenangan yang semestinya dapat diselesaikan dengan baik oleh Pemerintah Provinsi Kepri dengan Kemenhub. 

Mengingat pengalaman Kepri menempuh cara penyelesaian yang bersifat non litigasi atau melalui penyelesaian disharmonisasi Peraturan perundangan melalui mediasi sebagaimana Permenkumham Nomor 2/2019, maka sebaiknya ditempuh jalur uji materil sengketa kewenangan peraturan perundangan tersebut melalui jalur litigasi pengujian di Mahkamah Agung RI. ***

   


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar