Presiden Haiti Jovenel Moise Dibunuh oleh Agen Keamanannya Sendiri

Para petugas polisi bersenjata Haiti siaga di sekitar kediaman Presiden Jovonel Moise setelah pembunuhannya, di Port-au-Prince, Haiti, 7 Juli 2021. Foto/REUTERS/Estailove St-Val

TRANSKEPRI.COM, PORT-AU-PRINCE - Spekulasi tentang siapa dalang pembunuhan Presiden Republik Haiti Jovenel Moise menggelinding bak bola liar. Mantan senator setempat mengeklaim presiden dibunuh oleh agen keamanannya sendiri, dan para tentara bayaran asing hanya dikontrak atau disewa.

Presiden Moise ditembak mati oleh sekelompok tentara bayaran asing di kediamannya pada Rabu pagi lalu. Korban diterjang 12 peluru kaliber tinggi, di mana bola mata kirinya pecah.
Polisi mengatakan sebanyak 28 orang, terdiri dari warga Kolombia dan Amerika Serikat (AS) terlibat. Sebagian besar dari mereka adalah mantan tentara militer Kolombia. Tujuh tersangka ditembak mati oleh polisi dalam baku tembak setelah pembunuhan dan sebagian masih buron.
Dalang dan motif pembunuhan belum diungkap polisi meski serangan itu telah berlangsung beberapa hari. Spekulasi tentang dalang pembunuhan telah menambah kebingungan publik yang bertanya-tanya sekaligus marah tentang invasi tentara bayaran asing.

"Presiden Republik, Jovenel Moise, dibunuh oleh agen keamanannya," kata mantan senator Haiti Steven Benoit dalam wawancara dengan radio Magik9, hari Jumat.

"Bukan orang Kolombia yang membunuhnya. Mereka dikontrak oleh negara Haiti," katanya lagi.

Sementara itu, pemerintah Haiti telah meminta AS dan PBB untuk mengirim tentara untuk membantu mengamankan pelabuhan, bandara, dan situs strategis lainnya di negara itu. Pemerintah khawatir negara itu akan dilanda kerusuhan setelah pembunuhan brutal yang dialamiPresiden Moise.

Amerika Serikat telah mengatakan akan mengirim agen Biro Investigasi Federal (FBI) dan agen lainnya ke Port-au-Prince, dua hari setelah Moise dibunuh secara brutal di kediamannya. Pembunuhan itu membuka kekosongan kekuasaan di negara Karibia yang miskin tersebut.

"Setelah pembunuhan itu, kami pikir tentara bayaran dapat menghancurkan beberapa infrastruktur untuk menciptakan kekacauan di negara ini. Selama percakapan dengan Menteri Luar Negeri AS dan PBB, kami mengajukan permintaan ini," kata Menteri Pemilu Haiti Mathias Pierre kepada AFP yang dilansir Sabtu (10/7/2021).
Departemen Luar Negeri AS dan Pentagon mengonfirmasi telah menerima permintaan pengiriman pasukan tersebut. Menurut keduanya, para pejabat Washington tetap berhubungan dengan Port-au-Prince, tetapi tidak merinci apakah pasukan militer akan dikerahkan ke negara Karibia itu.
PBB belum bersedia menanggapi permintaan komentar.

Washington telah mengisyaratkan kesediaannya untuk membantu penyelidikan Haiti atas pembunuhan Presiden Moise. Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan pada hari Jumat bahwa FBI dan pejabat senior lainnya akan menuju ke Karibia sesegera mungkin.

Pierre mengonfirmasi bahwa permintaan tersebut telah dibuat ketika pertanyaan berputar pada hari Jumat tentang siapa yang mendalangi pembunuhan yang berani itu, di mana sebagian besar anggota regu pembunuh—warga Kolombia dan AS—ditembak mati atau ditangkap, dan tidak ada motif yang jelas yang dipublikasikan.

Di tengah ketidakpastian, dua politisi kini berlomba-lomba memimpin negara berpenduduk 11 juta orang itu. Tidak ada Parlemen yang berfungsi karena telah dibubarkan.

Setelah berhari-hari lumpuh, Port-au-Prince menjadi saksi biru kembalinya orang-orang yang malu-malu ke jalan-jalan, toko-toko dibuka dan dimulainya kembali transportasi umum pada Jumat pagi—tetapi semua di bawah ketakutan.

Orang-orang berebut untuk membeli kebutuhan pokok di supermarket dan mengantre di pom bensin untuk membeli propana yang digunakan untuk memasak untuk mengantisipasi lebih banyak ketidakstabilan.

"Saya tidak tahu apa yang akan terjadi besok atau lusa di negara ini, jadi saya bersiap untuk hari-hari buruk di masa depan," kata penduduk Port-au-Prince, Marjory, kepada AFP, saat dia dan suaminya menimbun persediaan pangan yang dibeli dari sebuah toko.
"Saya memprioritaskan segala sesuatu yang bisa bertahan selama berhari-hari."

Kekerasan geng, yang marak di negara Karibia itu, juga meningkat lagi pada hari Jumat, di mana bentrokan antar kelompok telah melumpuhkan lalu lintas di jalan raya utama.

Bandara kota, yang ditutup setelah pembunuhan Presiden Moise, telah dibuka kembali. Opersional di bandara itu terpantau oleh situs Flightradar.

Tetapi ketika kejutan pembunuhan presiden itu mereda, banyak yang menuntut jawaban.

"Orang asing datang ke negara ini untuk melakukan kejahatan. Kami, warga Haiti, terkejut," kata seorang penduduk ibu kota kepada AFP.

"Kami perlu tahu siapa di balik ini, nama mereka, latar belakang mereka agar keadilan bisa ditegakkan," ujarnya yang menolak disebutkan namanya.

Polisi mengatakan 28 anggota regu pembunuh asal Kolombia dan AS telah melakukan serangan mematikan terhadap Presiden Moise, tetapi polisi masih mencari dalangnya.
Petugas polisi senior, yang secara langsung bertanggung jawab atas keamanan Moise, berada di "kursi panas" dan telah dipanggil untuk menghadap ke pengadilan.

Beberapa tersangka telah ditangkap setelah membobol kantor yang dianggap sebagai Kedutaan Taiwan. Pihak Taipei mengonfirmasi hal itu.

Beberapa tersangka diarak di depan media pada hari Kamis. Masyarakat marah dan mencoba membakar para tersangka.

Pemerintah Kolombia pada hari Jumat mengatakan 17 mantan tentaranya diduga terlibat dalam pembunuhan itu. Presiden Kolombia Ivan Duque telah mengatakan kepada pejabat Haiti bahwa Bogota akan bekerja sama dalam penyelidikan.

Serangan itu semakin membuat negara termiskin di benua Amerika itu tidak stabil, diganggu oleh ketidakamanan.

Haiti sudah berada di tengah-tengah krisis institusional, yakni Moise tidak menyelenggarakan pemilu sejak dia berkuasa pada awal 2017 dan negara itu tidak memiliki parlemen sejak Januari 2020. Moise telah memerintah melalui dekrit.

Salah satu tindakan terakhir Moise sebagai presiden pada hari Senin adalah menunjuk perdana menteri baru, Ariel Henry. Dia belum menjabat ketika Moise terbunuh.
Beberapa jam setelah pembunuhan itu, pendahulu Henry, Claude Joseph, mengatakan dia yang bertanggung jawab untuk memerintah negara.

Sementara oposisi menuduh Joseph terlibat perebutan kekuasaan. Utusan PBB untuk Haiti, Helen La Lime, mengatakan dia memiliki wewenang karena Henry belum dilantik.(net)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar