Hubungan Sholat dengan Kemenangan dan Menghadapi Kesulitan

Ilustrasi: Sholat

TRANSKEPRI.COM.BATAM- Kekalutan luar biasa menimpa Rasulullah SAW lantaran baru saja dua orang penopang dan pendukung perjuangannya menghadap ilahi. Khadijah istrinya dan Abu Thalib pamannya dipanggil Allah SWT dalam kurun yang hampir bersamaan.

Saat itu, Rasulullah SAW betul-betul dalam kondisi yang sangat lemah. Kalau sebelumnya kaum Quraisy masih enggan mengganggu karena dibacking Abu Thalib, kini mereka bebas melepaskan dendamnya. Begitu kerasnya tekanan kaum kuffar sehingga Rasulullah SAW berusaha meninggalkan Makkah. Beliau mencoba untuk berhijrah ke Thaif, dengan pertimbangan di sana banyak famili dan saudara. Namun apa reaksi mereka?

Betul-betul di luar dugaan. Mereka mengusirnya sebagaimana orang mengusir anjing. Bahkan lemparan batu yang beliau terima.

Dalam keadaan seperti itu, hanya satu permintaan Rasulullah SAW kepada penduduk Thaif. Beliau meminta agar peristiwa itu tidak diberitakan kepada kaum Quraisy. Namun sekali lagi Rasul dibikin geram karena mereka malah mengerahkan anak-anak dan semua penduduk kampung untuk mengolok-oloknya.

Di saat itulah terlontar dari mulut beliau ucapan yang sangat mengharukan. Sebait doa yang syahdu.

“Ya Allah kepada-Mu aku mengeluhkan kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di hadapan manusia. O, Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, kepada siapa hendak Kau serahkan daku? Kepada orang yang jauhkah, yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang Kau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat dari kemurkaan yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga orang berkenan pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan Engkau juga.”

Tidak berselang jauh dari peristiwa itu, Rasulullah SAW telah pula mengalami kejadian memilukan yang lain. Di saat pulang dari suatu urusan, di tengah jalan seseorang mencegatnya, dan langsung menaburkan tanah dan pasir ke atas kepala Rasul. Anaknya, Fathimah yang baru saja ditinggal wafat  ibunya membersihkan kotoran itu sambil meneteskan air mata.

Betapa pilu perasaan Rasulullah SAW melihat anak gadisnya menangis seperti itu. Betapa hancur luluh hatinya. Namun dengan penuh bijaksana beliau masih bisa menenangkan suasana, katanya, “Jangan menangis, sebentar lagi Allah akan memenangkan kita.”

Kejadian di atas  bukan klimaks dari kekejian dan kekejaman para kafir Quraisy. Itu masih dapat digolongkan siksaan yang paling ringan. Selebihnya, tentu dapat kita bayangkan sendiri.

Dalam kondisi seperti itu Rasulullah SAW tidak berputus asa. Beliau tetap melaksanakan tugas-tugas tablighnya. Di saat musim haji, beliau mendatangi orang-orang yang datang menziarahi Ka’bah. Digubris atau tidak, tetap saja beliau sampaikan. “Tiada Tuhan selain Allah, dan aku Muhammad adalah utusan-Nya.” Kalimat itu disampaikan berulang-ulang kepada siapa saja yang ditemuinya.

Tidak jarang beliau juga mendatangi beberapa suku Arab lain, yang bertetangga dengan Makkah. Dari rumah ke rumah beliau berdawah, tanpa mengenal lelah apalagi putus asa.

Kaum Quraisy yang tahu aktivitas Nabi langsung menguntitnya. Mereka membuat fitnah dan ulah. Bahkan di muka umum tidak jarang Rasulullah SAW dihina, diejek atau disakiti. Tak jarang mereka yang diajakpun ikut-ikutan mengejek dan menyakitinya.

Inilah klimaks dari serangkaian serangan kaum kuffar kepada Nabi. Akan tetapi rumus perjuangan berlaku di sini. Semakin keras derita yang diterima berarti semakin dekat kemenangan itu. Semakin besar tekanan musuh, berarti semakin mudah meledak menjadi kekuatan.

مَسَّتۡهُمُ الۡبَاۡسَآءُ وَالضَّرَّآءُ وَزُلۡزِلُوۡا حَتّٰى يَقُوۡلَ الرَّسُوۡلُ وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَهٗ مَتٰى نَصۡرُ اللّٰهِؕ اَلَاۤ اِنَّ نَصۡرَ اللّٰهِ قَرِيۡبٌ

 “Mereka telah ditimpa oleh bencana dan malapetaka serta kegoncangan yang hebat, sehingga Rasul dan orang-orang yang bersamanya berteriak, ‘Kapan pertolongan Allah datang. Ingatlah bahwa pertolongan itu dekat. ” (Al Baqarah: 214)

Betul, di saat seperti itu Allah SWT meng-Isra’ dan Mi’raj-kannya. Allah tidak pernah terlambat memberi hiburan kepada hamba-hamba-Nya yang bertaqwa. Dalam Mi’raj itulah, Rasulullah SAW mendapat kiat meraih sukses. Beliau diberi resep mujarab, yaitu shalat.

Kalau kita mencoba menelusuri sejarah Nabi, kita akan menemukan bahwa setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj  terjadi arus balik. Artinya, bila sebelumnya Nabi berada pada titik yang paling kritis, kini mulai menampakkan tanda-tanda kebangkitan. Apalagi setelah beliau hijrah ke Yatsrib, nampak sekali perkembangan ke arah itu.

Memang, bila perintah shalat  tidak kita kaitkan dengan sejarah, terasa bahwa shalat hanya sebagai kewajiban semata. Malah oleh banyak orang diartikan sebagai beban. Namun bila kita mencoba mengaitkannya dengan sejarah turunnya perintah ini, maka jelas ada benang merah yang menghubungkannya dengan perjuangan dan kemenangan.

Karenanya wajar bila setiap muadzin mengumandangkan adzannya selalu mengajak kita:

Hayya ‘alas-shalaah, hayya ‘alal-falah

“Marilah kita dirikan shalat, marilah kita rebut kemenangan.”

Mendirikan shalat dengan merebut kemenangan itu ada hubungan yang jelas. Artinya, bagi seseorang yang sungguh-sungguh mendirikan shalat dengan sempurna, niscaya kemenangan akan segera diraihnya. Sejarah Nabi telah menjadi bukti. Sementara kita harus meniru Nabi, termasuk dalam shalat ini. “Shalatlah kalian sebagaimana aku melaksanakannya,” begitu kata beliau.

Meniru Nabi dalam shalat tidak hanya dalam gerak dhahirnya, tapi lebih dari itu adalah gerak batinnya. Kita sangat sensitif terhadap kesalahan dhahir, tapi sering kurang peka terhadap kesalahan batin. Kita sering pecah dan bertikai hanya gara-gara seseorang kita anggap keliru dalam salah satu gerakan shalat, tapi diam saja manakala melihat orang shalat dalam keadaan bermalas-malasan, banyak ngelamun, dan sedikit konsentrasi. Akibatnya, bukan kemenangan yang bisa kita raih, malah pertikaian yang datang bertubi-tubi. Umat menjadi pecah, kekuatan Islam berantakan. Sesama Muslim mudah diadu domba. Mengadakan garis furqan pada masalah ini. Karenanya jangankan kemenangan, justru kemunduran demi kemunduran, kehinaan demi kehinaan menimpa umat Islam tiada henti. Apakah hal ini belum juga kita sadari?

Buku fiqih yang menerangkan kaifiyah shalat sudah berjilid-jilid yang dikarang oleh banyak ulama. Kita tak akan menemui kesulitan untuk mendapatkannya di toko-toko buku, perpustakaan, atau di mana saja. Kita juga tak bakal kerepotan untuk mempelajarinya, sebab sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

Bukan berarti kajian ini sudah cukup, tapi yang paling mendesak sekarang adalah mencari kembali benang merah yang menghubungkan shalat dengan kemenangan itu. Tidak sia-sia bila dalam perintah shalat ini Nabi sendiri yang diminta menghadap langsung Allah. Kalau pada perintah-perintah yang lain cukup melalui malaikat Jibril, tapi khusus yang satu ini, Allah langsung meminta Nabi menghadap sendiri. Kenapa? Tentu ada rahasianya. Tentu permasalahan ini dianggap sangat penting.

Ini penting untuk kita temukan segera, sehingga umat mengerti bagaimana yang seharusnya. Kita telah melaksanakan shalat sekian lama. Sejak kecil tak pernah meninggalkannya, bahkan nenek kakek kita juga sudah melakukannya, tapi kita bertanya, di mana kemenangan itu? Sekali lagi justru perintah shalat ini sering menjadi perdebatan yang berakhir dengan perpecahan. Bukan kemenangan yang diperoleh, tapi justru kemunduran.

Cobalah perhatikan umat Islam dalam melaksanakan perintah ini. Terkesan kurang mujahadah. Nampak jelas bahwa mereka melaksanakannya asal-asalan. Pokoknya sudah terlepas dari beban kewajiban. Pokoknya shalat, titik.

Kalau ada orang shalat dengan pakaian seadanya, dengan kaos oblong bergambar wanita, atau pakai sarung ngelinting bawahnya, atau pakai kopyah yang bau busuk dan sudah tidak ada bentuknya, kita anggap biasa saja. Kita tolerir sebab menurut fiqih sah-sah saja. Asal menutup aurat, asal tidak najis, sudah beres. Apakah hal itu mengganggu jama’ah yang lain, itu urusan lain.

Shalat di akhir waktu kita anggap biasa, sebab menurut fiqih juga tidak apa-apa. Orang melaksanakannya dengan terburu-buru seperti habis dikejar anjing juga biasa saja. Yang penting syarat rukunnya terpenuhi. Apa betul shalat yang demikian itu sudah sesuai dengan yang dicontohkan Nabi? Apakah dalam bidang fiqih saja kita meniru Nabi? Pantas bila shalat kita belum menghasilkan apa-apa, kecuali capek dan lelah saja.

Inilah barangkali yang dikhawatirkan Nabi. Banyak orang yang melaksanakan shalat, padahal sebenarnya mereka bukan shalat. Mereka tidak mendapatkan apa-apa dari pekerjaannya, kecuali kepayahan.

Bagaimana shalat yang benar? Shalat yang benar adalah shalat yang meniru pada Nabi. Bagaimana shalat Nabi? Shalat Nabi adalah shalat yang menghasilkan kemenangan, baik yang berskala pribadi, keluarga, masyarakat, maupun yang bertaraf dunia.

Minimal shalat itu menghasilkan ketentraman jiwa, sebab inti shalat adalah dzikir kepada Allah. Sedangkan dzikir kepada Allah itu menghasilkan ketentraman jiwa.

اَلَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا وَتَطۡمَٮِٕنُّ قُلُوۡبُهُمۡ بِذِكۡرِ اللّٰهِ‌ؕ اَلَا بِذِكۡرِ اللّٰهِ تَطۡمَٮِٕنُّ الۡقُلُوۡبُ

 (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’du : 28)

Dengan demikian seseorang yang rajin melaksanakan shalat dijamin akan terbebas dari penyakit atau gangguan kejiwaan. Mereka tentu saja akan terbebas dari stres atau tekanan jiwa, terbebas dari putus asa dan frustrasi. Kalau ada kaum muslimin yang terjangkiti penyakit ini, perlu dicek bagaimana shalatnya.

Hasil kedua yang bisa diperoleh lewat shalat adalah terkalahkannya kemungkaran. Kemungkaran, kebathilan dan perbuatan fakhsa’ lainnya pelan-pelan akan terkalahkan manakala shalat sudah ditegakkan.

 اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنۡهٰى عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَالۡمُنۡكَرِ‌ؕ

“Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.” (Ankabut: 45)

Lebih jauh, shalat yang benar akan menghasilkan kemenangan, kejayaan dan kebangkitan Islam. Kapan itu terjadi? Bila kita mau membenahi shalat kita sekarang ini.

“Shalat adalah tiang agama. Barang siapa yang menegakkannya berarti dia menegakkan agama. Barangsiapa yang meninggalkannya, berarti dia telah meruntuhkan agama. ”

Dengan demikian tegak agama itu tergantung pada kita. Sudahkan kita laksanakan shalat dengan sesempurna-sempurnanya? Bila belum jangan bermimpi memperoleh kejayaan Islam kembali. ***


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar