Sekalipun Belum Bisa Tinggalkan Maksiat, Tetaplah Beribadah
TRANSKEPRI.COM.BATAM- Inilah kisah penuh hikmah bahwa kebaikan atau ibadah harus tetap dilakukan, apapun keadaannya. Bahkan meski yang bersangkutan, di saat yang sama belum bisa meninggalkan perbuatan dosa. Jadi, tetaplah beribadah meski kamu belum bisa meninggalkan maksiat.
Bersama rombongan, suatu hari, Bisyr al-Hafi sedang pergi ke negara Syam. Salah satu anggota rombongan itu adalah beberapa (orang yang terkenal sebagai) perampok. Hingga suatu ketika, masih ketika berada dalam rombongan itu, mereka berpesta minuman keras. Anehnya, sang ketua (geng) mereka tidak ikut minum.
Hal ini membuat Bisyr al-Hafi penasaran, ada apa gerangan. Ia pun akhirnya menanyakan ihwal kejanggalan itu kepada yang bersangkutan, “Mengapa kamu tidak ikut minum?”.
“Saya puasa, Syaikh,” jawabnya singkat.
“Kamu puasa? Bukankah kamu suka mengganggu manusia, merampok, dan bahkan membunuh?” tanya Bisyr al-Hafi tambah penasaran.
Ketua geng itu pun menjawab, “Saya menempatkan kebaikan pada tempatnya.” (Seakan ia berkata, “Saya berbuat baik adalah satu hal dan ketika saya masih suka berbuat jahat adalah satu hal yang lain”)
Waktu terus berjalan, hingga suatu saat, Bisyr al-Hafi melaksanakan ibadah haji di Mekkah al-Mukarramah. Namun tanpa disangka olehnya, ia melihat ketua geng yang pernah ia temui itu sedang memakai pakaian ihram dan berthawaf sembari merapalkan kalimat-kalimat talbiyah, “Labbaikallahumma labaik….”.
“Apakah kamu lelaki yang dulu pernah kutemui itu?” tanya Bisyr al-Hafi kepadanya.
“Iya,” jawabnya.
Bisyr al-Hafi penasaran mendengar jawaban itu. Ia lantas bertanya lagi, “Apa hal yang membuatmu bisa sampai di sini?”.
“Puasa yang aku lakukan saat itu,” jawabnya singat.
Kisah penuh hikmah di atas terdapat dalam kitab Mir’ah al-Zaman fii Tawarikh al-A’yan karya Sabt Ibn al-Jauzi. Kisah penuh hikmah senada juga dikisahkan oleh Gus Baha dalam salah satu ceramahnya. Suatu ketika ada yang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw., “Nabi saya mau masuk Islam, tapi saya suka berbohong. Apa boleh saya tetap shalat dan zakat tapi saya tetap berbohong?”.
“Gak papa. Yang penting kamu shalat,” jawab Nabi.
Setelah yang penanya itu undur diri, Ibnu Abbas bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menghalalkan atau memperbolehkan berbohong?”.
“Tidak. Berbohong itu tidak halal,” jawab Nabi.
Ibnu Abbas menyanggah bahwa berarti dengan jawaban yang diberikan itu tadi, Nabi seakan memperbolehkan untuk berbuat bohong. Kemudian Nabi menjawab, “Nanti kalau sering shalat, ia pasti akan merasa jijik sendiri dengan perbuatan bohongnya itu.”
Lewat dua kisah di atas kita menjadi paham betapa kebaikan atau ibadah harus tetap dilakukan, apapun keadaannya. Bahkan meski yang bersangkutan, di saat yang sama belum bisa meninggalkan perbuatan dosa. (Meskipun harus diakui bahwa memang yang terbaik adalah meninggalkan keburukan dan terus menerus melakukan kebaikan).
Ada sebagian anggapan dari sebagian kita bahwa lebih baik meninggalkan atau tidak mengerjakan kebaikan sama sekali jika masih suka berbuat dosa. Misalnya tergambar dalam beberapa kalimat di bawah ini:
“Buat apa dia pakai kerudung kalau akhlak masih belum baik”;
“Untuk apa kamu shalat, kalau masih tetap berbohong”;
“Percuma sedekah, kalau niatnya sombong”, dan lain-lain.
Menurut penulis, sekilas, kalimat-kalimat ini memang terlihat benar dan masuk akal. Namun dikaji lebih mendalam, agaknya kita akan menemukan kejanggalan, yakni orang yang demikian berarti tidak berbuat baik sama sekali sedangkan perbuatan buruknya jalan terus. Mungkin akan lebih indah jika kalimat-kalimat itu diganti menjadi seperti ini:
“Alhamdulillah dia sudah pakai kerudung meski akhlaknya belum baik. Siapa tau dengan ia pakai kerudung, ia lama-lama akan sadar. Dari hanya yang awalnya hanya islami secara penampilan bisa berubah menjadi islami secara perbuatan”;
“Alhamdulillah kamu sekarang sudah mau shalat meski masih suka berbohong. Semoga shalatmu akan bisa menuntunmu menjadi insan yang jujur. Jangan berhenti shalata ya!”; dan
“Asal masih mau bersedekah, biarkan saja bila dia masih bersifat sombong dan tidak ikhlas atas sedekahnya itu. Semoga suatu saat pahala sedekah yang ia keluarkan akan menjadikannya pribadi yang rendah hati”.
Setiap orang berbeda dalam melakukan ibadah. Mereka bertingkat-tingkat. Ada yang langsung sempurna dan ada pula yang—untuk mencapai derajat sempurna—harus melewati tahap ketidaksempurnaan terlebih dahulu, sebagaimana yanag dialami ketua perampok dan orang bertanya kepada Nabi dalam dua kisah di atas. Penjelasan ini bukan berarti melegalkan suatu dosa. Misalnya, “Tak apa saya melakukan dosa, kan, saya sudah ibadah”. Bukan, sekali lagi, bukan.
Walhasil, seseorang harus tetap melakukan kebaikan meski belum bisa meninggalkan keburukan. Sebuah kaidah fikih menyebutkan, “Jika tak bisa melakukan atau mengambil semuanya, jangan tinggalkan seluruhnya”. Jika ibadah/kebaikan itu dilakukan dengan istiqamah dan benar, niscaya, suatu saaat, akan membuat pelakunya meninggalkan perbuatan dosa yang selama ia dilakukan. Wallahu a’lam.(tm)
Tulis Komentar