Takut Virus Corona, Masyarakat Adat Malaysia Lari ke Hutan

Para pekerja dengan pakaian pelindung berdoa sebelum operasi desinfeksi untuk menghambat penyebaran virus corona COVID-19, di Kuala Lumpur, Malaysia, 1 April 2020. Foto/REUTERS / Lim Huey Teng / File Photo

TRANSKEPRI.COM. KUALA LUMPUR - Sebuah komunitas adat di Malaysia memblokir pintu masuk ke desa mereka dengan kayu dan setengah dari total penduduk melarikan diri ke hutan. Mereka takut terinfeksi virus corona COVID-19.

Mereka yang melarikan diri ke hutan adalah komunitas Orang Asli di Jemeri, Negara Bagian Pahang. Ketakutan mereka dipicu oleh menyebarnya COVID-19 di Malaysia.

"Kami akan kembali ke hutan, untuk mengisolasi diri kami sendiri dan mencari makanan untuk diri kami sendiri," kata aktivis yang juga penduduk desa di Jemeri, Bedul Chemai kepada Reuters melalui telepon dari Jemeri, Jumat (3/4/2020).
"Kami tahu cara mendapatkan makanan dari hutan dan ada beberapa hal yang bisa kami tanam di sana," katanya lagi.

Komunitas Orang Asli termasuk di antara yang termiskin dan paling rentan di Malaysia yang memiliki jumlah infeksi COVID-19 tertinggi yang dilaporkan di Asia Tenggara.

Kasus infeksi pertama Orang Asli terdeteksi minggu lalu. Direktur Jenderal Departemen Pengembangan Orang Asli Juli Edo mengatakan kepada Reuters seorang bocah lelaki berusia tiga tahun dari sebuah desa di luar Cameron Highlands, sebuah tempat wisata populer di Pahang, dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.

Menurut Juli, desa-desa di Jemeri telah di-lockdown. Belum jelas bagaimana bocah tiga tahun itu terinfeksi COVID-19.

Orang Asli adalah keturunan dari penduduk paling awal yang dikenal di Semenanjung Malaysia. Jumlah populasi Orang Asli sekitar 200.000 jiwa.

Ketika Malaysia memberlakukan pembatasan ketat pergerakan orang-orang mulai bulan ini, komunitas Orang Asli mengatakan bahwa mereka sangat terpukul. Pembatasan pergerakan itu sebagai langkah untuk menghentikan penyebaran virus yang telah menginfeksi lebih dari 3.000 orang dan menewaskan 50 orang di Malaysia.

Pembatasan itu membuat banyak warga kesulitan mencari makanan karena penghasilan kecil mereka dari penjualan sayur, buah-buahan dan karet setiap hari terputus.

Orang Asli rentan terhadap penyakit karena sejumlah faktor yang meliputi kemiskinan dan kekurangan gizi. Tingkat kemiskinan mereka yang dilaporkan lebih dari 30 persen dibandingkan dengan rata-rata angka kemiskinan Malaysia 0,4 persen.

Tahun lalu, satu desa adat di timur laut Semenanjung Malaysia menyaksikan 15 kematian dan puluhan jatuh sakit akibat campak.

Shaq Koyok, seorang aktivis dari suku Temuan, mengatakan orang-orang dari desanya, sekitar 60 km (40 mil) dari Kuala Lumpur, telah memblokade diri mereka.

"Bahkan saya tidak bisa pergi ke desa," kata Shaq, yang berbasis di Ibu Kota Malaysia, Kuala Lumpur.

Tak hanya di Malaysia, penduduk asli di Australia, Kanada dan Brazil juga menutup perbatasan mereka untuk melindungi komunitas dari COVID-19.

Komunitas Orang Asli mengatakan selama beberapa dekade mereka telah melihat perambahan terhadap tanah adat mereka. Menurut mereka, tanah-tanah adat ditanami kelapa sawit dan perusahaan kayu telah menggunduli hutan.

"Di beberapa desa ini, mereka bahkan tidak bisa pergi ke hutan untuk mencari makan," kata Ili Nadiah Dzulfakar dari Klima Action Malaysia, bagian dari kelompok kolektif yang mengumpulkan uang untuk masyarakat Orang Asli.

Satu kelompok yang telah berusaha mengumpulkan dana untuk Orang Asli mengatakan bahwa mereka memiliki begitu banyak permintaan dari mereka untuk bantuan sehingga mereka menggandakan target penggalangan dana.

Tetapi upaya pemerintah untuk memberikan makanan kepada sekitar 50.000 keluarga Orang Asli telah ditahan oleh upaya kelompok itu sendiri yang menutup diri.

"Seorang tetua desa mengatakan kepada saya bahwa mereka akan mati karena virus atau mati karena kelaparan," kata Ili Nadiah. (ssb)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar