TRANSKEPRI.COM.JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang tengah dibahas pemerintah dan DPR mendapat sorotan sejumlah pakar hukum. Meski digadang-gadang sebagai instrumen ampuh negara dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan luar biasa, sejumlah pasal dinilai kontroversial dan berpotensi multitafsir.
Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Prof Harris Arthur Hedar, menilai sedikitnya ada lima pasal yang berpotensi menimbulkan persoalan jika tidak diperjelas. “RUU ini punya tujuan mulia, tetapi beberapa pasal bisa membuat hukum terasa menakutkan daripada melindungi,” ujarnya, Selasa (17/9/2025).
Pasal 2, misalnya, menyebut negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Menurut Harris, ketentuan itu berisiko menggeser asas praduga tak bersalah dan dapat merugikan pedagang atau pengusaha kecil yang lemah dalam administrasi pembukuan.
Pasal 3 yang memperbolehkan perampasan aset meskipun proses pidana tetap berjalan juga dikhawatirkan menimbulkan dualisme hukum. “Masyarakat bisa merasa dihukum dua kali, asetnya dirampas sementara dirinya tetap diadili,” kata pria yang juga merupakan Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).
Sementara itu, Pasal 5 ayat (2) huruf a menyebut aset dapat dirampas bila dianggap tidak seimbang dengan penghasilan sah. Frasa “tidak seimbang” dinilai sangat subjektif dan berpotensi menyasar rakyat kecil, misalnya petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap.
Harris juga menyoroti Pasal 6 ayat (1) yang menetapkan aset minimal Rp100 juta bisa dirampas. Ambang batas nominal tersebut dianggap rawan salah sasaran, karena buruh yang membeli rumah sederhana bisa terjerat, sementara pelaku kejahatan bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah nilai tersebut.
Selain itu, Pasal 7 ayat (1) yang memungkinkan perampasan meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan dinilai merugikan ahli waris maupun pihak ketiga beritikad baik. “Risikonya anak-anak bisa kehilangan rumah warisan hanya karena orang tuanya pernah dituduh,” ujarnya.
Lebih jauh, Harris menekankan perlunya kejelasan prosedur perampasan aset, termasuk mekanisme pembuktian. Ia menolak beban pembuktian dibalikkan kepada masyarakat (reverse burden of proof). “Siapa yang menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat,” tegasnya.
Harris mendorong agar perampasan aset tetap melalui putusan pengadilan independen, dilakukan secara transparan, dan diawasi publik. Negara juga perlu menyediakan bantuan hukum gratis bagi masyarakat kecil yang terdampak.
“RUU ini ibarat pedang bermata dua. Kalau tidak hati-hati, rakyat kecil bisa dikriminalisasi karena lemah administrasi, sementara orang kaya bisa melindungi asetnya dengan pengacara,” kata Harris. (*)
Tulis Komentar