TRANSKEPRI.COM. JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan harga jual eceran (HJE) bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi saat ini jauh lebih rendah dibandingkan harga jual seharusnya atau keekonomiannya. Dengan asumsi harga Indonesian Crude Price (ICP) 105 dolar AS per barel dan nilai tukar rupiah Rp 14.700 per dolar AS, ia menyebut subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk bahan bakar Pertalite, Solar, Pertamax hingga LPG 3 kilogram sangat besar.
Sri Mulyani mencontohkan, HJE Solar yang ditetapkan oleh PT Pertamina (Persero) dengan seizin pemerintah sebesar Rp 5.150 per liter. Sedangkan, harga keekonomiannya sudah mencapai Rp 13.950 per liter.
"Artinya masyarakat dan seluruh perekonomian mendapatkan subsidi Solar sebesar 63 persen atau mencapai Rp 8.800 per liter dari harga riilnya," ujar Sri Mulyani, Jumat (26/8/2022).
Sementara itu, menurutnya, untuk HJE Pertalite yang ditetapkan sebesar Rp 7.650, harga keekonomiannya sudah mencapai Rp 14.450 per liter. Dengan demikian, pemerintah memberikan subsidi mencapai Rp 6.800 untuk setiap liter bahan bakar ini.
"Harga Pertalite sekarang ini, rakyat setiap liternya mendapatkan subsidi 53 persen atau Rp 6.800 setiap liter yang dibeli," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, untuk HJE Pertamax yang ditetapkan saat ini sebesar Rp 12.500 per liter, harga keekonomiannya sudah mencapai Rp 17.300 per liter. Sehingga, pemerintah memberikan subsidi mencapai Rp 4.800 untuk setiap liter bahan bakar ini.
"Setiap orang mampu yang mobilnya bagus membeli Pertamax, per liternya mendapatkan subsidi Rp 4.800," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menyebut kuota BBM subsidi Pertalite akan habis pada September 2022. Hal ini disusul kuota BBM Solar akan habis pada Oktober 2022.
Kuota Pertalite sebanyak 16,4 juta kiloliter sudah terpakai akhir Juli 2022, dari total kuota 23 juta kiloliter. Sedangkan, kuota Solar sudah terpakai 9,88 juta kiloliter dari total alokasi sebanyak 15,1 juta kiloliter.
Kemudian, untuk HJE LPG 3 kilogram yang ditetapkan saat ini sebesar Rp 4.250 per kilogram, harga keekonomiannya sudah mencapai Rp 18.500. Untuk itu, pemerintah memberikan subsidi mencapai Rp 14.250 untuk setiap kilogram bahan bakar gas ini.
"Jadi kalau setiap kali beli LPG 3 kilogram maka mereka mendapatkan subsidi Rp 42.750," ujar Sri Mulyani.
Seperti diketahui, pada tahun ini anggaran subsidi BBM dan LPG mencapai Rp 149,4 triliun, dan subsidi listrik mencapai Rp 59,6 triliun. Lalu, kompensasi BBM mencapai Rp 252,5 triliun dan kompensasi listrik mencapai Rp 41,0 triliun.
Sehingga, total anggaran subsidi dan kompensasi mencapai Rp 502,4 triliun. Jumlah ini berpotensi membengkak hingga Rp 698 triliun atau naik Rp 195,6 triliun, apabila konsumsi terus meningkat.
Sri Mulyani menggambarkan anggaran subsidi energi sebesar Rp 502 triliun jika dialokasikan infrastruktur lain sektor kesehatan dan pendidikan, bisa membangun 3.333 rumah sakit skala menengah.
“Saya berikan ilustrasi, kalau punya uang Rp 502 itu itu kira-kira dapat apa saja? Bisa bikin rumah sakit sebanyak 3.333, kalau Kemenkes minta uang untuk membangun rumah sakit bisa bikin sampai ke pelosok, dan ini kelas menengah ya,” ujarnya.
Sri Mulyani juga menggambarkan anggaran tersebut juga setara dengan pembangunan 227.886 sekolah dasar (SD) dengan biaya per sekolah dasar sebesar Rp 2,19 miliar. Terutama bagi daerah-daerah yang belum memiliki SD di wilayahnya.
Dia melanjutkan dana Rp 502 triliun di dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setara dengan pembangunan 3.501 ruas tol baru dengan biaya Rp 142,8 miliar per kilometer atau setara pula dengan penyelesaian seluruh Tol di Sumatera yang belum tersambung secara penuh.
“Begitu juga dengan sekolah dasar akan ada 227.886 sekolah dengan dana Rp 502 triliun atau ruas tol itu ada 3.501 km mungkin bisa selesai di seluruh Sumatera bahkan lewat, masih belum ada yang tersambung,” ucapnya.
Kemudian, dana subsidi energi juga setara dengan pembangunan 41.666 pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dengan biaya sebesar Rp 12 miliar per unit. Khususnya di daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan) yang tidak menikmati subsidi Rp 502 triliun.
"Jadi ini hanya untuk memberikan gambaran bahwa angka subsidi energi tahun 2022 merupakan angka yang sangat besar dan sangat nyata, bahkan ini masih belum cukup," tuturnya.
Pemerintah hingga kini masih menghitung-hitung terkait rencana menaikkan harga BBM berusubsidi. Pemerintah merencanakan tiga skenario, yang keputusannya tetap ada pada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan ketika harga jual Pertalite dinaikkan, maka secara paralel pemerintah tetap akan melakukan pembatasan penyaluran sekaligus menyiapkan jaring pengaman sosial bagi masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Skema ini diambil oleh pemerintah selain untuk mengamankan beban APBN untuk membayar subsidi sekaligus menjaga daya beli masyarakat dan inflasi.
"Kontribusi energi pada inflasi itu 1,6 persen. Padahal kita menjaga inflasi itu di angka 4,9 persen pada tahun ini," ujar Arifin di Kementerian ESDM, Jumat (26/8/2022).
Arifin menjelaskan pengendalian terhadap penjualan Pertalite juga tetap akan dilakukan. Pengendalian penjualan ini melalui Revisi Peraturan Presiden Nomer 191 Tahun 2014. Sebab, kata Arifin meski pemerintah melakukan penyesuaian harga jual Pertalite, kenaikan tersebut tidak akan sampai pada harga keekonomian. Maka, ada beban subsidi yang masih harus ditanggung APBN meski secara jumlah tidak sebesar hari ini.
"Angka keekonomian Pertalite hari ini kan sudah Rp 17.200 per liter. Maka, pengendalian penyaluran tetap dilakukan," ujar Arifin.
Saat ini kata Arifin usulan perubahan revisi Perpres 191/2014 sudah selesai. Pihaknya sudah mengirimkannya ke Kementerian Koordinator Perekonomian yang nantinya akan diharmonisasi dan diserahkan ke Presiden.
Ia menjelaskan, nantinya dalam revisi perpres tersebut akan dijelaskan siapa saja yang berhak membeli Pertalite. Acuannya adalah ukuran cc dari kendaraan baik itu mobil maupun motor. Selain itu, nantinya ada mekanisme pencatatan dan evaluasi secara digital yang dilakukan oleh Pertamina.
"Yang jelas, untuk motor dan jenis kendaraan lain yang itu untuk transportasi umum, nelayan, angkutan pangan tetap bisa mengkonsumsi BBM subsidi," ujar Arifin.
Mengenai BLT, Arifin tak menjelaskan banyak. Hanya saja, kata dia dengan kenaikan harga jual Pertalite, maka akan menggerus daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Di satu sisi, pemerintah tak ingin terjadi sehingga pemerintah berencana memberikan jaring pengaman sosial melalui mekanisme BLT.
"Apalagi pascacovid ini kan datanya berubah, terjadi ada penurunan kelas dari masyarakat. Maka, ini perlu adanya jaring pengaman ini," ujar Arifin.
Adapun, menurut Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, sebenarnya masih banyak opsi yang bisa diambil jika ingin menyelamatkan fiskal. Sebab, kenaikan harga BBM saat ini akan sangat berdampak khususnya bagi pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).
“Kalau memaksakan harga naik di tengah situasi daya beli masyarakat yang rendah, upah minimum naiknya hanya 1 persen ditambah banyak pelaku usaha yang membutuhkan Solar dan Pertalite, khususnya pelaku UMKM pasti kena dampaknya,” kata Bhima kepada Republika, Jumat (26/8/2022).
Opsi yang sebaiknya diambil pemerintah adalah pembatasan, khususnya Solar karena tingkat kebocorannya ke industri, pertambangan, perkebunan yang seharusnya diatur. Sementara untuk pembatasan Pertalite, harus berhati-hati, terutama persiapan data.
“Pemerintah sebenarnya sekarang juga bisa mengalihkan dana surplus dari komoditas untuk menambal pembengkakan subsidi energi,” ujar dia.
Yang jelas, kata Bhima, banyak cara kreatif lain yang bisa diambil selain menaikkan harga BBM. Cara lain dengan penundaan untuk beberapa proyek infrastruktur.
“Kemarin ada dana Pemda yang belum cair, penggunannya cukup besar sampai menyentuh Rp 200 triliun. Itu geser dulu untuk subsidi energi. Bisa juga negosiasi utang untuk keringanan pembayaran bunga kepada kreditur. Jadi, masih banyak opsi,” tambahnya.
Tulis Komentar