Kisah Imam Al-Ghazali di Bawah Ancaman Pembunuh Hashashin

Selama di Baghdad Imam al-Ghazali dalam ancaman Hashashin. Jika ada daftar target pembunuhan, al-Ghazali boleh jadi masuk dalam daftar itu. (Foto/Ilustrasi : Ist/mhy)

Imam al-Ghazali tak sepi dengan ancaman dalam aktivitas dakwahnya. Pada saat ia diangkat sebagai Guru Besar Teologi dan Filsafat di institusi pendidikan Nizamiyyah oleh Perdana Menteri Kesultanan Seljuk Nizam al-Mulk dan pindah ke Baghdad, situasi politik sangat tidak menguntungkan.
Al-Ghazali tiba di Baghdad pada tahun 1091 M. Kala itu, Dinasti Fatimiyah yang berpusat di Kairo, Mesir, dicurigai menyewa pembunuh untuk membunuh sebanyak mungkin pemimpin Dinasti Seljuk dan Abbasiyah, sekaligus para birokrat pentingnya. Pembunuh itu berhimpun dalam Sekte Hashashin.

Jika ada daftar target pembunuhan, al-Ghazali boleh jadi masuk dalam daftar itu. Dalam waktu satu tahun pertama sejak kedatangan al-Ghazali di Baghdad, di sana sudah terjadi pembunuhan terhadap dua tokoh terpenting kesultanan.

Pada tahun itu Sultan Malik Shah dan Perdana Menteri Nizam al-Mulk terbunuh.

Setelah pembunuhan kedua orang terkuat di kesultanan tersebut, Kekaisaran Seljuk mulai runtuh menuju kehancuran.

Hashashin, walaupun mereka bermadzhab sama dengan Dinasti Syiah Fatimiyah di Kairo, yaitu Syiah Ismailiyah, namun pada kenyataannya di kemudian hari beberapa tokoh Dinasti Fatimiyah juga turut menjadi korban pembunuhan dari sekte Hashashin.

Beberapa tokoh Dinasti Fatimiyah yang dibunuh oleh Hashashin adalah Al-Afdal Shahanshah, seorang Perdana Menteri, dibunuh tahun 1122 M; dan Al Amir, seorang khalifah, dibunuh tahun 1130 M.

Hampir semua imperium besar masa itu pernah menjadi korban dari sekte Hashashin, di antaranya dinasti Abbasiyah, Fatimiyah, Mongolia, Inggris, hingga Yerusalem.

Sekte ini merupakan sekte kecil, namun mereka memiliki kemampuan membunuh dengan trik dan akurasi yang sangat tinggi.

Keberadaan para anggotanya pun misterius, dalam setiap operasi pembunuhan yang mereka lakukan, biasanya mereka menyamar terlebih dahulu. Perdana Menteri Nizam al-Mulk dibunuh oleh seorang anggota Hashashin yang menyamar sebagai sufi.

Madzhab Sunni Ortodoks
Al-Ghazali, mungkin saja merasa terancam, tapi toh dia tetap melanjutkan pekerjaannya dan tetap tinggal di Baghdad.

Di sana, dia terus memberi kuliah, yang apabila dikumpulkan dalam auditorium, jumlah muridnya dapat mencapai 300 orang lebih. Selain itu, dia juga menulis khutbah, dan karya hukum dan teologi Islam dalam rentang waktu yang panjang.

Sebagian besar waktu al-Ghazali dihabiskan untuk menerima tamu dan menanggapi surat-surat yang meminta saran dan pendapatnya mengenai masalah teologi dan hukum. Jawaban-jawaban yang dia berikan dilandasi atas argumentasi-argumentasi yang kuat dari sudut pandang Madzhab Sunni ortodoks.
Pemintal wol
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, atau lebih terkenal dengan nama Al-Ghazali, lahir sekitar tahun 1058 M di kota Tus, Persia, di Khurasan, yang sekarang merupakan provinsi paling timur laut di Iran. Secara historis, kota ini terbentang sampai ke Afghanistan, dan negara-negara pusat Asia modern seperti Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.

Eamon Gearon dalam bukunya berjudul "Turning Points in Middle Eastern History" menjelaskan ditilik dari nama keluarganya menunjukkan bahwa keluarga al-Ghazali memiliki profesi sebagai pemintal wol.

Riwayat menyatakan bahwa ayahnya meninggal saat masih muda, sehingga al-Ghazali dan adik laki-lakinya dibesarkan oleh seorang sufi setempat.

"Jika riwayat itu benar, maka fakta tersebut bisa dengan baik menjelaskan keterikatan yang dimiliki oleh kedua bersaudara tersebut terhadap bentuk mistis, bahkan esoteris, dari ajaran Islam," ujar Eamon Gearon.
 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar