Kisah Sufi
Jalaluddin Rumi: Ketika Musuh Meludahi Wajah Ali bin Abu Thalib
Belajarlah bagaimana bersikap tulus dari Ali bin Abi Thalib , sang singa Allah, bebas dari segala keburukan. Dalam pertempuran, dia mengalahkan musuh kemudian menghunus pedangnya untuk melancarkan tebasan terakhir.
Orang itu meludahi wajah Ali yang suci, kebanggaan bagi setiap orang suci dan nabi, yang dalam dan luas: Bahkan bulan pun bersujud di hadapan wajah ini, di mana ia diludahi – ini adalah tindakan yang tercela!
Ali langsung meletakkan pedangnya dan, meskipun dia berada di posisi yang unggul, dia menghentikan pertarungan. Musuh itu heran dengan tindakannya ini, bahwa dia menunjukkan belas kasih meskipun telah diserang.
Musuh itu berkata, “Engkau mengarahkan pedang tajammu ke arahku sebelumnya, tapi kemudian engkau menjatuhkannya begitu saja ke tanah–– Lebih penting dari pada melawanku, apa yang engkau pikirkan dengan membatalkan seranganmu kepadaku?
“Apa yang engkau pikirkan untuk mengakhiri kehebatan seranganmu, bagaikan petir yang memancarkan kilatnya lalu meredup tiba-tiba? Apa yang engkau pikirkan tercermin di sini jauh di dalam hatiku, dan membuat nyala api muncul?
“Apa yang engkau lihat jauh melampaui baik eksistensi maupun ruang, bahwa engkau telah mengampuniku meskipun aku telah meludahi wajahmu? Melalui keberanianmu dan orang-orang yang mengetahui keluhuran akhlakmu, engkau adalah singa Allah!
“Engkau adalah awannya Musa di tengah panasnya gurun yang menghadirkan pesta tak tertandingi untuk jamuan makan.”
Awan membawa gandum yang dapat digiling dan dipanggang orang-orang untuk membuat roti dan kue yang manis dan bermanfaat: Sayap-sayap belas kasih awan Musa terbentang untuk memberi mereka kue panas dan roti yang sudah matang.
Bagi mereka yang memakan karunia ini dia membentang, melalui rahmat yang begitu baik ini, panji mereka di dunia, selama empat puluh tahun kemurahan yang luar biasa itu memberi makan mereka yang memiliki harapan tanpa kekurangan.
Hingga mereka bertanya, karena mereka telah menjadi begitu rendah, “Mengapa bumbu-bumbu dan bawang-bawang tidak dikirim ke sini!”
Umat Muhammad, orang-orang yang mulia, dapat melihat bahwa makanan seperti itu berasal dari Allah, dan mereka akan bertahan selamanya: Nabi berkata, “Aku bersama Allah malam sebelumnya, Yang telah memberiku makan,” –– ini bukanlah kiasan!
Terimalah bacaan ini, jangan berdebat, susu dan madu semacam itu, mungkin engkau juga telah diberi-Nya; Menerka-nerka apa yang telah engkau terima sama saja dengan membuangnya, karena kesalahan yang telah engkau persepsikan.
Melihat kekurangan menunjukkan bahwa pikiranmu juga lemah, kebijaksanaan adalah inti, penjelasan hanyalah cangkangnya. Nilailah secara kritis dirimu sendiri yang hina, jangan mengkritik duri mawar, tetapi kritiklah kepala (pikiran)mu!
Tulis Komentar