Kisah Djuwari, Pemikul Tandu Jenderal Sudirman yang Terlupakan
TRANSKEPRI.COM, Kita semua pasti mengenal sosok Jenderal Sudirman , pejuang kemerdekaan Indonesia yang terkenal dengan taktik perang gerilya. Namun tidak semua orang mengetahui kisah Djuwari, pemikul tandu Jenderal Soedirman yang terlupakan, dan luput dari perhatian semua.
Djuwari merupakan satu-satunya yang masih hidup dari empat warga Dusun Goliman yang pernah memikul tandu Jenderal Sudirman saat perang gerilya .
Melihat sosok Djuwari tak nampak kegagahan seperti saat memanggul tandu Panglima Besar Jenderal Sudirman. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari. Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode awal kemerdekaan.
Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan. Sehingga angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut keriputnya yang memang kurus.
Sedangkan celana pendek yang dipakai juga tak kalah lusuh dibanding baju atasan.
Rumah-rumah di Dusun Goliman termasuk area kediaman Djuwari tak begitu jauh dari kehidupan miskin. Beberapa rumah masih berdinding anyaman bambu, jika ada yang bertembok pastilah belum dipermak semen.
Sama halnya dengan kediaman Djuwari yang amat sederhana dan belum dilengkapi lantai.
“Yang penting udah tau manggul Jenderal, Pak Dirman. Aku manggul dari Goliman hingga Bajulan, itu masuk Nganjuk,” ujar Djuwari.
Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa. Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.
Sepanjang hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Sudirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Panglima Besar. Pernah suatu kali diberi uang Rp 500 ribu, setelah itu belum ada yang datang membantu.
Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah pada zaman Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras.
“Dulu gotong tandunya gantian mas, kira-kira ada orang tujuh, yang ikut manggul dari Goliman adalah Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu) dan Djoyo dari (warga Goliman),” akunya.
Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Sudirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat. Baca: Aura Magis dan Rahasia Kecantikan Ken Dedes Pemikat Para Raja.
Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa. “Dari Bajulan (Nganjuk), saya dan pemikul lain terus balik ke Goliman. Waktu itu dikasih kain dan sarung,” imbuhnya.
Ayah dari empat putra dan empat putri itu menambahkan, waktu itu, istrinya (almarhumah) amat senang menerima kain pemberian sang Jenderal. Saking seringnya dipakai, kain itu pun akhirnya rusak, sehingga kini Djuwari hanya tinggal mewariskan cerita kisahnya mengikuti gerilya.
“Pak Dirman pesan, hidup itu harus rukun, sama tetangga saling sapa, satu desa harus rukun semua,” katanya. Baca: Perang Bubat, Tragedi Kisah Cinta Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka.
Sumber:
wikipedia
sastradududewo.blogspot
(net)
Tulis Komentar