IDI Sebut Telah 598 Dokter Meninggal karena Covid-19

Tenaga kesehatan

TRANSKEPRI.COM.JAKARTA- Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaporkan sebanyak 598 dokter meninggal terkonfirmasi Covid-19. Jumlah ini merupakan data terbaru per 27 Juli 2021 pukul 23.59 WIB.

Ketua Pelaksana Harian Tim Mitigasi Dokter IDI Mahesa Paranadipa Maikel mengaku pihaknya khawatir angka tersebut akan terus bertambah.

Dokter yang meninggal didominasi oleh dokter umum sebanyak 319 orang, 270 spesialis, dan 9 dokter residen."Kematian dokter yang terkonfirmasi Covid-19 berjumlah 598 orang, dan ini kami khawatirkan bulan ini kan tembus di angka 600 dokter yang gugur selama pandemi ini," kata Mahesa dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Rabu (28/7).

Dari jumlah tersebut, sebanyak 5 dokter umum dan 29 dokter spesialis merupakan guru besar.

Mahesa mengaku pihaknya sangat sedih karena harus kehilangan dokter-dokter senior yang menjadi guru, teman, serta dokter-dokter yang lebih muda.

"Melihat angka ini sekali lagi kami di kalangan dokter ya tersayatlah hati kami melihat banyaknya guru-guru kami yg harus gugur selama pertarungan melawan pandemi," kata Mahesa.

Mahesa juga menyampaikan bahwa data-data dokter yang gugur dilaporkan setelah melalui pemeriksaan data yang ketat.

Pihaknya harus menghubungi pihak keluarga dan orang-orang terdekat dokter yang meninggal untuk memastikan apakah kematiannya disebabkan Covid-19.

"Kami tidak bisa setiap hari memberikan data langsung karena setiap data yang masuk tiap hari harus kami kroscek," jelas Mahesa.

"Untuk daerah masih Jawa Timur yang jumlah kematian dokternya banyak, sebanyak 127 dokter diikuti oleh DKI Jakarta, Jawa Tengah, jawa Barat, Sumatera Utara," kata Mahesa.Selain itu, Mahesa juga memaparkan tingkat kematian dokter dari setiap wilayah. Dari 29 wilayah, Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama dengan jumlah dokter meninggal 127 orang. Kemudian diikuti DKI Jakarta 92 orang, Jawa Tengah 89 orang, Jawa Barat 83 orang, dan Sumatera Utara 41 orang,

Mahesa menjelaskan, tingginya angka kematian dokter di Jawa Timur berkaitan dengan lonjakan jumlah kasus yang terjadi di wilayah tersebut. Tingkat keterisian rumah sakit di Jawa Timur pun tinggi.

Menurut Mahesa, berdasarkan koordinasi yang dilakukan Tim Mitigasi PB IDI dan IDI Jawa Timur, lonjakan tersebut mengakibatkan beban kerja tenaga kesehatan hingga di luar batas.

"Berdasarkan laporan-laporan memang menyebabkan overload beban tenaga medis dan tenaga kesehatan yang harus menangani pasien-pasien Covid-19," terang Mahesa.

Sementara itu, jumlah dokter spesialis yang diturunkan di zona merah tidak banyak. Hal ini karena hanya terdapat beberapa spesialis yang memiliki kondisi aman, baik dari sisi usia maupun komorbid, untuk menangani Covid-19.

Akibatnya, banyak dokter residen atau dokter yang sedang menempuh studi spesialis, ditempatkan di pusat-pusat penanganan Covid-19.

"Kita melihat banyak paparan-paparan terjadi, tidak hanya dokter spesialis tapi juga dokter residen. Itu karena overload dari beban pelayanan cukup tinggi," tuturnya.

"Keterpaparan virus itu cukup banyak didapati oleh teman-teman di ruang-ruang isolasi," kata Mahesa.Di sisi lain, lonjakan kasus ini juga mengakibatkan ruang isolasi menjadi ramai. Meskipun seorang dokter atau tenaga kesehatan telah menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap, pada akhirnya ia tetap terpapar.

Selain itu, kata Mahesa, para Nakes mungkin terpapar saat mereka melepas APD. Sebab, ruangan yang digunakan untuk melepas APD tidak dijamin steril dari virus.

"Ruang-ruang pembukaan APD juga tidak bisa sepenuhnya bisa steril dari virus. Itu terjadi (infeksi) kemungkinan," tutur Mahesa. (tm)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar