SEJARAH

Menggali Pengetahuan Lokal dari Tanaman

Bertani di Dataran Tinggi Dieng dengan latar belakang Telaga Warna. (Agung Widiyanto/Shutterstock).

Pengetahuan masyarakat terlihat dari nama-nama tumbuhan. Mengandung nasihat dan kearifan hidup.

TRANSKEPRI.COM. Hubungan masyarakat lokal dengan tanaman menjelma dalam lingkup spiritual, filosofis, dan pemikiran. Pengetahuan tradisional itu tercermin dalam penamaan lokal tanam-tanaman.

"Biasanya masyarakat mengidentifikasi tumbuhan dari bau, rasa, atau hal-hal menonjol dari tumbuhan itu. Ini membuat kita memahami alam pikirannya,” kata Fathi Royyani, peneliti etnobotani pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam acara ngobrol bareng peneliti dengan judul “Strategi Mengatasi Kepunahan Bahasa Daerah Melalui Koleksi Tumbuhan” yang diselenggarakan LIPI, live di Instagram, Kamis (25/02/2021).

Tumbuhan penting bagi kehidupan sebagai sumber bahan pangan, papan, sandang, obat, kerajinan, dan kegiatan sosial. Namun, tumbuhan juga berperan penting dalam perkembangan budaya masyarakat.

Setiap masyarakat lokal memiliki pengetahuan yang berbeda dalam menggunakan dan mengelola sumber daya alam sesuai adat dan budayanya. “Kita orang Indonesia, bangsa ilmu pengetahuan, yang sudah kuat ilmu pengetahuannya,” kata Fathi.

Kisah di Balik Penamaan Lokal

Fathi menceritakan kisah lokal satu jenis tanaman. Dahulu, seorang naturalis Belanda datang ke Jawa Barat. Dia pergi ke hutan membawa orang setempat sebagai pemandu. Lalu dia melihat satu tumbuhan.

“Orang Belanda itu bertanya, 'ini apa?' Pemandu lapangannya tak ada yang berani menjawab,” kata Fathi.

Ternyata, kata Fathi, nama tumbuhan itu menurut orang Sunda tak pantas untuk diucapkan. “Ada yang nyeletuk: ‘Pada era, sir!’  Era, bahasa Sunda artinya malu, jadi pada malu maksudnya,” kata Fathi.

Mendengar perkataa itu dicatatlah nama tanamannya sebagaimana yang didengar orang Belanda, yakni Paederia foetida. Tanaman tak berkayu ini berasal dari Asia Timur dan Asia Selatan. Ia tumbuh merambat di permukaan tanah, pagar, atau pohon inang.

Fathi mengatakan, tumbuhan yang dimaksud lebih dikenal dengan sebutan daun kentut. Dalam bahasa Sunda, ia disebut daun kahitutan karena daunnya mengeluarkan bau tak sedap seperti kentut.

“Ceritanya begitu. Karena pemandunya pada malu ngomong kentut, tak ada yang mau menjawab. Mungkin dulu etikanya begitu,” kata Fathi.

Kisah lain tentang maja, buah bulat berwarna hijau yang berkaitan dengan asal-usul Kerajaan Majapahit. Nama ini muncul dalam Serat Pararaton. Waktu Raden Wijaya membabat alas Trik untuk permukiman, pengikutnya memakan buah maja muda yang rasanya pahit. Daerah itu pun kemudian dinamakan Majapahit.

"Dulu mungkin dinamai sambil marah-marah karena pahit. Kini menjadi nama toponimi dan kebanggaan karena daerah itu tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan kuat," kata Fathi.

Kontribusi nama daerah di Nusantara terhadap nama ilmiah tumbuhan begitu banyak. Misalnya, nama ilmiah durian, Durio zibethinus, diambil dari bahasa lokal, yakni “durian”. “Karena sangat mudah diucapkan. Jadi kita harus bangga,” ujar Fathi.

Pengetahuan lokal tak hanya ditemukan dari bagaimana mereka menyebut jenis tanaman. Tapi juga berkaitan dengan budaya agraris.

Misalnya, orang Jawa menyebut alat membajak sawah dengan istilah luku. Sementara Luku atau Lintang Luku dipahami masyarakat Jawa sebagai patokan datangnya musim untuk memulai menanam benih pertanian di lahan tadah hujan. Lintang Luku dalam ilmu astronomi dikenal sebagai rasi Orion.

“Luku adalah gambaran dari orang dulu ketika musim tanam. Saat itu mereka baru mulai bertani, membajak sawah, dan lainnya,” kata Fathi.

Penyebutan nama tanaman atau istilah pertanian bisa jadi berbeda di setiap daerah. Ini menandakan ekspresi pengetahuan yang berbeda. “Ini terkait dengan banyak hal sebagai ekspresi pengetahuan tradisional yang luar biasa,” kata Fathi.

Refleksi Pengetahuan Lokal

Fanny Henry Tondo, peneliti etnolingustik pada Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI, menambahkan, istilah lokal pada tanaman juga meliputi bagian-bagian tanaman itu. “Seperti pohon kelapa, ada puluhan, mulai dari ujung daun ada istilah berbeda sampai di akar,” kata Fanny.

Dalam tulisannya berjudul “Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung: Tinjauan Etnolinguistik”, yang terbit di Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 18 No. 2, Juni 2012, Fanny menjelaskan bahwa bahasa menjadi refleksi dari pengelolaan perkebunan jagung yang masih sangat tradisional.

Fanny menunjukkan bagaimana bahasa lokal Hamap masih tetap dipakai dalam budidaya tanaman jagung di masyarakat itu. Itu baik dalam proses penanaman jagung, peralatan yang digunakan, bagian-bagian tanaman, jenis jagung yang ditanam, sampai pada nyanyian tradisional yang dituturkan pada saat menanam jagung.

Padahal bahasa Hamap dikategorikan sebagai bahasa minoritas yang terancam punah. Disebut minoritas karena jumlah penuturnya saat ini diperkirakan tinggal sekira 1.000 orang, yakni bahasa Hamap yang berada di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

“Pengetahuan tentang istilah dalam proses penanaman jagung masih tetap dipertahankan dan ada dalam kognisi orang Hamap sebagai stock of knowledge,” tulis Fanny.

Perkebunan merupakan salah satu yang terpenting dalam rantai perekonomian orang Hamap. Pada umumnya orang Hamap yang tinggal di Pulau Alor mempunyai mata pencaharian sebagai petani.

Jagung atau yang mereka sebut bate adalah sumber bahan makanan pokok. Melalui perkebunan jagung orang Hamap bisa menopang ekonomi keluarganya. “Selain untuk dimakan sendiri, jagung juga biasanya dijual ke pasar,” kata Fanny.

Nasihat Hidup dan Kearifan Lokal

Kedekatan manusia dengan tanaman membuat nilai tanaman tak lagi sebagai penyokong kebutuhan pokok dan ekonomi. Seperti ditulis Imam Budi Santosa dalam Suta Naya Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan, bahwa hubungan tumbuhan dengan masyarakat mendorong peningkatan pemahaman terhadap makna yang di kandungnya.

Orang Jawa menjadikan tanaman sebagai nasihat dan kearifan hidup. “Diangkat dari hasil pengkajian mereka terhadap sikap perilaku tumbuhan yang hidup sekitarnya,” tulis Imam. Misalnya dalam peribahasa Jawa banyak ditemukan simbolisasi tumbuhan.

Enggak-Enggok lumbu artinya bergoyang-goyangnya daun keladi. Peribahasa ini menggambarkan orang yang tak punya pendapat pribadi yang kokoh. “Sebuah sikap yang dinilai buruk di Jawa,” tulis Imam.

Jamur tuwuh ing waton berarti cendawan tumbuh di bebatuan. Jamur merupakan salah satu tumbuhan yang menyimbolkan kebahagiaan. Peribahasa ini menyiratkan bahwa kebahagiaan mustahil didapat jika hanya bermodal kemampuan ala kadarnya.

Karenanya, kata Fathi, pengetahuan lokal terbaik bisa digali dari bahasa daerah masing-masing. Melestarikan istilah dalam tanaman adalah salah satu cara menjaga bahasa daerah dari kepunahan. “Galilah filosofinya karena ada rekaman sains di sana. Kita bisa gali, meriset apapun dari sana,” kata Fathi.

 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar