Korban Terus Berjatuhan, PM Irak Abdul Mahdi Pilih Mundur
TRANSKEPRI.COM, BAGHDAD - Perdana Menteri (PM) Irak Abdul Mahdi memilih mengajukan pengunduran diri ke parlemen menyusul terus berlanjutnya aksi demonstrasi anti-pemerintah di Baghdad di Irak Selatan. Sebelumnya, dia telah mengumumkan akan mengundurkan diri dan menggelar rapat kabinet darurat yang menyetujui pengunduran diri Mahdi tersebut.
Parlemen Irak kemarin bertemu untuk menentukan nasib pengunduran diri Mahdi. “Pemerintah telah melakukan semua tuntutan demonstran dan memberlakukan reformasi. Kita menyerukan parlemen untuk menyelesaikan solusi,” demikian keterangan Pemerintah Irak dilansir Reuters.
Dengan pengunduran diri, maka kabinet akan berstatus sementara dan tidak diperbolehkan menghasilkan undang-undang baru atau membuat keputusan penting. “Ini menjadi hal positif. Itu menunjukkan tidak ada kediktatoran. Ketika pemerintah bubar, bagaimana proses transisi berjalan di Irak seperti negara demokratis lainnya,” katanya.
Namun demikian, pengunduran diri PM Mahdi tidak diterima para demonstran. Mereka menuntut reformasi sistem politik yang dinilai korup. Mereka juga menuntut pergantian para pejabat tinggi yang tidak peduli dengan rakyat Irak. Sebagian besar para demonstran merupakan warga Syiah yang mengeluhkan korupsi, buruknya layanan pemerintah, tidak ada pekerjaan, dan menyerukan reformasi politik.
Mereka kecewa terhadap pemerintahan Syiah yang didukung Iran. Mereka menuding kekayaan minyak Irak hanya dikorupsi karena kehidupan tidak terjamin dan infrastruktur tidak dibangun. Kemarahan warga juga kerap dialamatkan pada otoritas keagamaan yang dipandang hanya kepanjangan tangan dari kekuasaan.
Sejak kerusuhan anti-pemerintah yang pecah pada 1 Oktober, lebih dari 400 orang ditembak mati oleh pasukan bersenjata Irak. Pada Sabtu (30/11), tiga orang demonstran tewas dan 58 warga lainnya terluka saat berdemonstrasi. Demonstrasi juga berlanjut di Nassiriya. Kemudian demonstran juga mengepung sebuah kantor polisi di Baghdad.
Banyaknya jumlah korban tewas karena aparat keamanan menggunakan peluru tajam, gas air mata, dan granat untuk melawan demonstran dalam dua bulan terakhir. Tidak ada prosedur untuk membubarkan massa dengan menggunakan peluru karet atau pun negosiasi. Komisi Hak Asasi Manusia, lembaga semi-resmi di Irak, menuntut pelaku yang bertanggung jawab atas penembakan harus diadili.
Mereka juga akan membantu pihak terkait untuk menuntut para petugas keamanan yang melakukan penembakan. Sedangkan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) menyerukan penghentian kekerasan agar jumlah korban tewas tidak bertambah. “Senjata api dan peluru tajam hanya digunakan pada upaya terakhir,” demikian keterangan ICRC.
(don) (sindonews.com)
Tulis Komentar