Berkaca ke JSS, Apakah Jembatan BaBin Bakal Layu Sebelum Berkembang?
Oleh: Aldi Samjaya
Pemred transkepri.com/Dewan Redaksi Haluan Kepri
DUA minggu lalu seorang teman di Singapore menghubungi saya. Saya biasa memanggilnya dengan Mr Saad. Bro, saya ada teman investor dari Korea Selatan, mereka mau berinvestasi di Kepri. Kira-kira apa proyek besar di Kepri saat ini yang bisa mereka biayai?, demikian pertanyaan sang teman dari balik handphone. Sembari mengirim profil perusahaan dimaksud.
"Pihak investor juga siap menemui pemerintah atau pihak yang punya otoritas dan berkompeten terkait proyek yang ada," ujar Mr Saad sembari meyakinkan saya.
Spontan saya menyebut proyek Jembatan Batam-Bintan (BaBin) yang dalam waktu dekat bakal dilelang pemerintah. Bahkan proyek itu, saat ini telah telah memasuki fase pembebasan lahan yang dana fase pertama telah dialokasikan pada APBD Kepri 2021 sebesar Rp30 miliar.
Sembari saya berjanji akan memberikan kabar lebih lanjut perihal sejauh mana skema pembiayaan, pola pengerjaan, road-map, rencana teknis dan hal lain terkait keberadaan proyek yang disebut-sebut memiliki panjang mencapai 7 kilometer serta lebar 33 meter itu. Dan bakal menelan dana investasi tidak kurang dari Rp13 triliun.
Sejak saat itu saya banyak bertanya dan mencari referensi terkait rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Bintan tersebut.
Dari sejumlah orang yang saya tanyakan perihal rencana pembangunan jembatan yang disebut menggunakan skema kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Dengan 30 persen pembiayaan dari pemerintah dan 70 persen berasal dari investor. Sebagian besar mengaku pesimis dan kurang setuju dengan proyek tersebut.
Bahkan, satu orang pengusaha yang cukup familiar di Batam, melihat pembangunan jembatan tersebut sebagai suatu yang tidak strategis dan mengabaikan skala prioritas.
"Anda tahu ngak, dilihat dari banyak aspek, pembagunan jembatan itu tidak strategis, mengabaikan kodrat Kepri sebagai wilayah kepulauan, mematikan usaha pelayaran dan kepelabuhan. Dan yang utama, saya sangat tak yakin proyek ini bakal selesai sampai akhir. Nasibnya bakal sama dengan Jembatan Selat Sunda (JSS)," ujar teman pengusaha itu.
Tak sampai di situ, dia semakin semangat menyampaikan pendapatnya. "Kurang strategis apa JSS, menghubungkan Pulau Sumatera dan pulau Jawa. Jika di total penduduk kedua pulau, Jawa dan Sumatera, jumlahnya mencapai hampir 80 persen dari total penduduk Indonesia.
JSS pada waktu itu, sudah memiliki payung hukum, yakni peraturan presiden yang diterbitkan oleh SBY. Sudah memiliki investor. Sudah ada perbankan China yang membiayai. Bahkan sudah ada road map-nya serta sudah punya desain teknis. Singkatnya sudah sangat klop dan lengkaplah.
Triliunan dana investor sudah keluar untuk membiayai survei, persiapan dan lainnya. Tapi izin tak kunjung didapat, sehinga pada akhirnya pemerintahan berganti ke tangan Presiden Jokowi. Dan berakhir dengan pencabutan perpres, hingga sampai saat ini proyek JSS hilang bak di telan bumi.
"Kalau pembangunan jembatan BaBin dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing investasi di Batam dan Bintan, konektivitas orang, barang, jasa dan kendaraan, alangkah lebih efektif dan efisien dengan melakukan peningkatan spesifikasi dan intensitas moda transportasi kapal penyeberangan atau kapal RoRo yang berbiaya murah. Langkah ini juga tidak mematikan bisnis pelayaran dan kepelabuhan serta multiplier effect yang ditimbulkannya," pungkas si pengusaha.
Melihat sederet argumentasi yang disampaikan rekan pengusaha tersebut, saya hanya bisa bertanya, apakah proyek BaBin bisa berjalan hingga kelar.
Apakah juga bakal layu sebelum berkembang, seperti nasib yang dialami Jembatan Selat Sunda yang prestisius itu. Semoga tak membuat anggaran pemerintah berjumlah puluhan miliar, ratusan miliar bahkan triliunan rupiah, pengalokasianya tidak tepat sasaran. ***
Tulis Komentar