OPINI

Masa Depan Polri PRESISI dan Hak Asasi Manusia

Kepolisian Republik Indonesia

Oleh: SUSETIO CAHYADI
(Mahasiswa Doktoral ilmu Kepolisian STIK PTIK) 
 
 Institusi Polri mengalami transformasi yang never ending, pasca Polri mandiri dalam dua dekade terakhir. Saat ini terjadi diskursus baru tentang transformasi Polri menuju Polri yang PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi berkeadilan). Hal ini membawa peningkatan spirit pengabdian bagi generasi  muda Polri.

Dalam peta jalan Transformasi Polri Presisi tersebut, dikelompokkan dalam empat bagian utama yaitu; Transformasi organisasi,  Transformasi operasional, Transformasi pelayanan publik dan Transformasi Pengawasan. 

Terdapat adagium, penyelesaian perkara yang tebang pilih dan sulitnya membutuhkan polisi bagi masyarakat yang mengharapkan  pengayoman dan pelayanan secara cepat seperti yang diterapkan pada sistem kepolisian Amerika Serikat dengan berbasis Artificial Intelligence 911. Persoalan tersebut merupakan persoalan yang wajib dikelola sampai paripurna dan berkelanjutan oleh Polri ke depan. 

Selain dituntut untuk menjadi kepolisian negara yang tangguh dan profesional, Polri juga diharuskan menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas publik dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). 

Pada kesempatan Rapat Pimpinan Polri-TNI, Februari 2021 lalu, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufik Damanik, mengatakan pentingnya Polri berpegang pada prinsip demokrasi dan standar HAM dengan langkah-langkah yang efektif dan terukur dalam pelaksanaan tugas Polri di lapangan. (Tribunnews.15/2/2021).

Sudah menjadi keniscayaan bahwa dalam gelombang demokratisasi dunia ketiga, di mana badan kepolisian mengalami perubahan etika dan panduan tugas operasional polisi yang didasarkan beberapa hal di antaranya pada konvensi-konvensi PBB tentang hak asasi manusia pada tanggal 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A (III). 

Demikian juga tentang hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak sosial-budaya merupakan pengembangan lebih lanjut kemajuan HAM yang diterapkan bangsa/negara di dunia. 
 
Dengan demikian membawa konsekuensi terhadap setiap negara yang telah meratifikasi konvensi HAM  dan berlaku secara universal  bagi negara serta warga di dalamnya, Indonesia telah merespons konvesi HAM tersebut melalui UU No. 39 Tahun 1999 serta lembaga-lembaga pemerintahan khususnya aparatur penegak hukum yang ada.

Polri menindaklanjuti dengan mengesahkan peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas Polri, Bahkan Indonesia pernah mendapat posisi strategis  sebagai ketua komisi  HAM PBB tanggal 17 Januari 2005,  maka sudah selakyaknya Polri mengalami perubahan doktrin dan kebijakan nasionalnya untuk memasukkan dalam kurikulum pendidikan, tupoksi dan bahkan dalam desain pengembangan budaya organisasi Polri yang ideal di masa depan. 

Perubahan yang diharapkan Polri adalah, bagaimana mengubah Polri yang adaptatif dengan tren zaman yang telah berubah, di mana berbagai bentuk kejahatan dapat secara signifikan diharapkan mengalami penurunan  dengan strategi  Polri mengedepankan pada peran pelayanan publik.

Perubahan ini menuntut Polri harus mengadaptasikan diri pada budaya sosial, politik, ekonomi dan lainnya dalam masyarakat yang makin kompleks. Polri dituntut membangun organisasi yang tak lagi berada pada “zona nyaman”, dengan berdasarkan inward looking, tetapi sejalan sesuai kaidah masyarakat yang mengalami transformasi besar yakni masyarakat industri, masyarakat teknologi (technological based society) dan masyakat demokratis. 

Di sini makin pentingnya unsur penghormatan dan pemuliaan terhadap kemanusiaan, keadilan dan hak asasi manusia. Sejak awal  1990 an, polisi di berbagai negara telah mengalami demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM sebagai konsekuensi universalisasi HAM. 

Setiap negara yang telah meratifikasi HAM PBB, diwajibkan untuk menginternalisasikan dalam sistem pemerintahan, termasuk Polri. Oleh karena itu, sosok polisi masa depan memerlukan aparatur yang menghormati pentingnya nilai-nilai HAM itu. 

Dalam ”The Police that We Want: A Handbook for Oversight of Police in South Africa,” meniscayakan adanya perlindungan kehidupan politik demokratis, supremasi hukum dan pelayanan demokratis serta akuntabilitas. Hal penting dalam studi di atas, polisi harus melakukan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan pemolisian masyarakat. Untuk itu perlu adanya transformasi manajemen pemolisian yang modern. 

Pekerjaan rumah Polri yang perlu menjadi perhatian ke depan adalah upaya membangun budaya kepolisian (police culture) yang mampu menghadapi ancaman-ancaman jenis kejahatan baru, seperti di antaranya cyber terorism,  data stolen, hacking, carding, defacing, menyebarkan konten yang ilegal, spamming media sosial, cyber bullying. Hal tersebut menjadi  fenomena yang muncul setelah penggunaan teknologi canggih, sejalan dengan perkembangan media sosial seperti  Whatsapp, Google, Yahoo, Facebook, Twitters, Line, Telegram dan lainnya  yang akan  memicu tren kejahatan serta diprediksikan muncul dari penggunaan teknologi.

Perkembangan ini mendapat arena ketika saat ini muncul transformasi Polri dengan tagline, PRESISI, yakni prediktif, responsibilitas, transparansi dan berkeadilan. 

Melalui PRESISI, Kapolri Jenderal Lystio Sigit Prabowo ingin membangun komitmen komunikasi dengan kekuatan masyarakat baik sebagai subyek dan obyek pelayanan  Polri. Kita melihat Kapolri menyempatkan diri berkunjung, silaturahmi dan berdialog dengan para tokoh agama, ulama, pimpinan ormas seperti NU, Muhammadyah, LDII, HMI, Rabitul Adawiyah, dan lainnya. 

Dalam perspektif ilmu kepolisian, perubahan budaya ini membutuhkan di satu sisi sosok polisi sipil (civilian unifrom), dan disisi lain, perubahan mindset dalam masyarakat memposisikan partisipasi mereka penting dalam kerangka pemolisian masyarakat dan penegakkan hukum berdasarkan restorative justice. 

Paradigma kepolisian yang berorientasi masyarakat merupakan tantangan dan peluang dalam desain PRESISI, agar rasa keadilan dan hadirnya hukum bisa mengurangi pelanggaran hukum serta berbagai jenis kejahatan dalam masyarakat.

Masyarakat mengalami culture shock dan mental fatique akibat transformasi masyarakat teknologi yang tidak dibarengi dengan peningkatan taraf  hidup kesejahteraan rakyat, pendidikan yang makin baik dan literasi media. Sehingga akibatnya aksi teror, hoax, ujaran kebencian dan politik identitas, anarki dan tindakan illeberal (pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi) terjadi secara massif dalam masyarakat. 

Oleh karena itu, kebijakan Polri untuk mentransformasikan Polri ini menjadi relevan dan perlu mendapat dukungan kelembagaan dalam strukturasi Polri dari Mabes, sampai ke tingkat paling bawah, Polsek dan Pos Sub Sektor. Melalui kohesivitas dan soliditas Polri akan memberikan perubahan yang multidimensional sebagai kelaziman sosok Polri abad 21, dengan ciri: Prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, seperti adanya panduan dan SOP tentang implementasi HAM dalam struktur Polri, dan keterbukaan dalam proses perumusan kebijakan nasional keamanan dalam negeri, serta kewajiban untuk menemukan keadilan yang merupakan nilai dasar sentral dalam pekerjaan kepolisian.
 
Implementasi HAM Pada tingkat Polres

Disadari bahwa diskresi dan kewenangan Polri mengandung unsur resiko dalam penggunaan kekuatan, senjata api, pembatasan hak-hak masyarakat dan lainnya. Sesuai dengan kebijakan HAM pemerintah berdasarkan UU No 39 Tahun 1999, maka Polri ingin mendorong agar di semua struktur Polri dari Mabes hingga tingkat paling bawah di Polsek perlu memasukkan unsur-unsur HAM di dalamnya. Terutama setelah lahir Perkap Kapolri No. 8/2009 agar Polri berbasis HAM.

Berdasarkan kebijakan Kapolri itu, maka Polri mulai mengembangkan pelembagaannya melalui agenda sosialisasi, edukasi dan implementasi prosedur HAM tersebut.

Dalam perkembangannya, visi baru Polri yang transformatif mengedepankan penegak hukum berkemanusiaan dan keadilan merupakan momentum untuk mendorong secara bertahap pengembangan HAM di Polri tersebut. 

Harus diakui bahwa penerapan kebijakan HAM dilingkungan Polri tak mudah dipraktekkan karena kultur Polri belum sampai ke tahap perubahan substantif menjadi polisi sipil (civilian in  uniform). Selain itu fakta dalam sejarah perkembangan umat manusia bahwa untuk mengubah manusia membutuhkan waktu dan rencana strategis jangka panjang, sehingga dapat dimasukkan dalam program prioritas yang bersifat sektoral.

Menyadari kesulitan itu, maka penulis saat mendapat amanah sebagai Kapolres Metro Jakarta Utara tahun 2015,  mencoba melakukan transformasi yang ditandai dengan Deklarasi Polres Metro Jakarta Utara sebagai Polres yang mengedepankan prinsip dan standar HAM pada sektor pelayanan publik.

Hal ini didorong oleh kuatnya keinginan untuk melakukan pelayanan kepolisian yang efektif dan berbasis penghormatan terhadap kemanusiaan. 

Sebagaimana diketahui bahwa Polres adalah unsur Komando Operasional Dasar serta pemegang peranan yang menentukan dalam sistem pelayanan dan penegakkan hukum Polri. Karena akses langsung Polres dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat  ini dipandang sebagai model pemolisian demokratis masa depan. 

Dalam kaitan ini, penulis menerapkan tiga strategi implementasi kebijakan HAM tersebut dengan; (1). Upaya memperkuat  dan pemenuhan kapabilitas aparat/personil Polres Metro Jakarta Utara, melalui workshop polisi berbasis HAM serta implmentasi dan edukasi  buku saku juga buku panduan tentang pengarusutamaan HAM pada setiap fungsi  utama kepolisian.

(2). Membangun smart police dengan aplikasi ponsel bagi seluruh ketua RW se Jakarta Utara guna dapat bergerak cepat merespons  laporan warga dalam pelayanan berbasis HAM menggunakan artificial intelligence yang terkoneksi dengan smart city dan qlue milik pemerintah Prov. DKI Jakarta.

(3). Upaya menggandeng masyarakat dengan tagline, Polisi Sahabat Warga, Sapa Warga dan lainnya hal tersebut di atas guna menampilkan postur Polri yang dapat mendedikasikan peran Polri sebagai kompartemen kemeterian/ lembaga yang protagonis dengan program pengarusutamaan HAM pada pelayanan publik dengan  
kedepankan hal sebagai berikut:

(a). Masyarakat berhak memperoleh keadilan, (b). Masyarakat berhak atas kebebasan pribadi, (c). Masyarakat berhak atas rasa aman, (d). Masyarakat berhak terhindar dari penangkapan sewenang wenang, (e).Masyarakat berhak atas perlindungan kelompok rentan, (f). Masyarakat minoritas memiliki hak yang sama.

Dengan visi pengarusutamaan HAM dan rule of law ini, akan memberikan pemuliaan dalam  memberikan pelayanan publik terbaik secara tulus  dan kongkrit serta konsisten  untuk personil Polres dalam penanganan laporan masyarakat seperti contoh pada saat terjadinya  penculikan serta kekerasan pada anak atau kelompok rentan.

Berdasarkan laporan polisi No.Pol: 132/K/VIII/2015/S.Tpk Tanjung Priok pada tanggal  26 Agustus 2015. Anak usia  4 bulan itu  ditemukan dalam kondisi selamat dengan durasi waktu 6 (enam) jam dari saat melapor  dan pelaku berhasil ditangkap di perbatasan Tangerang dan bogor, (Beritasatu.com,26/8/15; dokumen Polres Metro Jakut). 

Penerapan HAM pada sektor pelayanan publik menjadi penting bagi Polri khususnya bagi wilayah hukum Polres Metro Jakarta Utara  yang dicirikan dengan masyarakat urban, pintu gerbang dan pusat pelabuhan serta industri kelautan dan prototype masyarakat industri modern, maka diprediksikan bahwa pemolisian berbasis HAM khususnya pada sektor  pelayanan publik  ini akan menjadi model pengembangan budaya Polri  PRESISI yang akuntabel, terpercaya, berkeadilan dan manusiawi menuju masyarakat dan negara yang madani serta modern di masa depan. ***


") Kombes Pol. Susetio Cahyadi, SIK.,MH.,MM.,CFrA., mahasiswa program Doktoral ilmu Kepolisian STIK-PTIK. Opini ini merupakan pandangan pribadi penulis.
 
 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar