Banyak Dijarah, Arkeolog Asing Soroti Pulau Emas Peninggalan Sriwijaya

Sisa-sisa kerajaan Sriwijaya yang digambarkan sebagai pulau emas mendapatkan sorotan dari arkeolog asing. Foto/dok

TRANSKEPRI.COM, JAKARTA - Sisa-sisa kerajaan Sriwijaya yang digambarkan arkeolog asing sebagai 'pulau emas' mendapatkan sorotan dari 
arkeolog asing. Sungai Musi, lokasi ditemukannya harta karun kerjaan Sriwijaya itu dianggap sebagai 'pulau emas.'

Arkeolog asing menilai, sebelumnya tidak ada jejak yang tersisa dari kerajaan Sriwijaya yang mengalami masa kejayaan sekitar tahun 600 an dan 1025.

Seorang arkeolog kelautan dan editor majalah Wreckwatch, Sean Kingsley mengatakan, hampir tidak ada jejak yang tersisa dari masa kejayaan Sriwijaya, kecuali artefak berkilauan yang ditarik oleh para penyelam dari dasar sungai.

Tidak ada penggalian arkeologis resmi yang pernah dilakukan di dalam atau di sekitar sungai oleh pemerintah setempat. Artefak yang ditemukan dijual ke kolektor pribadi di pasar barang antik global.
"Hampir tidak ada bukti fisik seperti apa kehidupan sehari-hari Sriwijaya. Kami mulai dari titik nol, seperti masuk ke museum yang kosong. Orang-orang tidak tahu pakaian apa yang dipakai orang Sriwijaya, apa seleranya, makanan apa yang mereka suka makan, tidak ada," kata Kingsley.

Penelitian arkeologi sebelumnya di sekitar Palembang, hanya menemukan petunjuk kecil tentang pelabuhan berupa candi bata dan beberapa prasasti. Sebagian besar informasi tentang kota berasal dari orang asing yang menulis tentang perjalanan mereka ke Sriwijaya.
Kingsley mengatakan, Sriwijaya memiliki sumber daya alam lokal yang sangat kaya, termasuk kayu cendana dan kapur barus. Kemudian kandungan emas yang terbentuk secara alami di Sungai Musi.
Bagaimana peradaban yang begitu kaya bisa lenyap tanpa jejak? Ada kemungkinan juga bahwa peristiwa geologis, yang mungkin terkait dengan aktivitas vulkanik Sumatera, dapat mengubur situs Sriwijaya, kata Kingsley.
Tanda-tanda bahwa Sungai Musi mungkin menyimpan rahasia Sriwijaya pertama kali muncul pada tahun 2011. Sejak itu pemburu harta karun lokal mencari sejumlah artefak untuk dijual.
John Miksic, profesor studi Asia Tenggara di National University of Singapore mengungkapkan, pemburu harta karun ini menyebabkan kerusakan pada sejumlah artefak.

"Saya pikir penjarahan mungkin masih berlangsung di Sungai Musi," tulis Miksic dalam email ke Live Science. Aktivitas serupa telah dilaporkan di Batanghari di Jambi, sungai besar berikutnya di utara Palembang.
Penjualan 
artefak
 Sriwijaya yang ditemukan di Sungai Musi membuat peneliti sulit untuk mempelajarinya. Tetapi karena tidak adanya upaya akademis atau pemerintah yang sistematis untuk melindungi situs tersebut, beberapa artefak dibeli oleh kolektor yang berdedikasi yang berusaha untuk menyatukannya.

Kurangnya sumber daya yang dikhususkan untuk warisan budaya di Indonesia membuat survei arkeologis resmi di Musi akan sulit. "Sayangnya, moratorium tidak melindungi artefak Sungai Musi," kata Kingsley.
Kingsley mengatakan, mungkin belum terlambat bagi pemerintah atau kolektor kaya untuk membeli artefak untuk dipamerkan di museum. Melestarikan sisa-sisa terakhir kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang hilang ini untuk semua orang.

"Ini adalah peradaban besar terakhir yang hilang yang tidak pernah didengar siapa pun. Ada kewajiban untuk menyelamatkannya," kata Kingsley.

(net)


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar