Menikah Tanpa Wali Ayah Kandung, Bagaimana Hukumnya?

ilustrasi. Foto istimewa

Menikah tanpa wali ayah kandung, bolehkah dilakukan? Bagaimana hukum dan status pernikahannya sendiri? Pernikahan merupakan salah satu syariat dalam Islam. Allah Ta'ala menyebut menikah adalah ibadah untuk menyempurnakan agama .

Dalam sebuah hadis ini disebutkan: "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng)." (HR Bukhari dan Muslim)
Pernikahan dalam Islam sendiri disebut dalam menjaga dari fitnah dan pandangan serta hal-hal haram yang bisa dilakukan oleh dua orang umat berbeda jenis. Dan, sebuah pernikahan itu hanya sah bila memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang harus dipenuhi para calon mempelai.
Adapun rukun nikah yaitu sudah memiliki calon baik laki-laki maupun perempuan. Harus ada wali dari pihak perempuan, minimal dua orang saksi. Dan terakhir harus ada ijab kabul yang diucapkan oleh wali pihak perempuan dan dijawab oleh calon mempelai laki-laki.

Seorang perempuan muslim diharamkan untuk menikahkan dirinya sendiri. Menikah tanpa wali bagi seorang perempuan menjadikan pernikahannya tidak sah. Tidak diizinkan selain wali sebagai wali dari pernikahan perempuan tersebut.

Rukun adanya wali bagi perempuan ini merupakan pendapat mayoritas para ulama dan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Aisyah radhiyallahu'anha bahwa Rasulullah pernah bersabda:

"Tidak ada akad nikah kecuali (yang dilakukan oleh) wali mursyid dan (disaksikan) oleh dua orang saksi yang adil). Siapapun wanita yang menjalani pernikahan namun tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batil, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil (3 kali)." (HR Abu Dawud)

Sedangkan, syarat sah menjadi wali yaitu laki-laki dan datang dari keluarga sang ayah, memiliki kesamaan agama, berakal, baligh, adil, dan merdeka.
Imam Abu Suja' dalam kitab 'Matan al-Ghayah wa Taqrib' mengurutkan siapa-siapa saja yang berhak dan masuk dalam prioritas untuk menjadi wali. Wali paling utama adalah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada daftar wali tersebut, maka wali hakim.

Kedudukan Wali Kandung dalam Pernikahan

Peran bapak atau ayah kandung tidak akan pernah tergantikan kedudukannya sebagai wali hingga kapan pun. Meski bapak tersebut tidak pernah memberi nafkah atau menghilang tak tentu rimbanya, namun urusan menjadi wali tidak ditentukan oleh sebab perhatian atau perlakuannya kepada anak istri.
Namun demikian, apabila seorang bapak kandung bersedia memberikan hak perwaliannya kepada seseorang, baik orang itu masih famili atau pun sama sekali tidak ada hubungan apapun, maka orang itu secara sah boleh dan punya wewenang untuk menikahkan. Asalkan orang tersebut memenuhi syarat sebagai wali, yaitu muslim, aqil, baligh, laki laki, adil dan merdeka.

Meski bukan famili, bukan saudara atau juga bukan keluarga. Namun tanpa adanya penyerahan wewenang secara sah dan benar dari bapak kandung kepada orang yang ditunjuk, maka tidak ada hak sedikit pun baginya untuk menjalankan hal hal yang di luar kewenangannya.
Bila si ayah atau bapak kandung ini tidak memberi izin atau menyerahkan wewenangnya kepada orang lain, maka daftar wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Apabila ayah atau bapak kandung masih hidup, tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor berikutnya, kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka. Termasuk izin perwalian ini yang bisa diberikan kepada mereka yang tidak ada dalam daftar wali seperti diungkap di atas.

Dan yang paling akhir bisa menjadi wali dan menikahkan seorang Muslimah adalah wali hakim. Wali hakim baru bisa digunakan jika memang tidak ada wali sahnya yang bisa menikahkan.
Adapun yang disebut sebagai wali hakim yaitu penguasa tempat dimana calon mempelai akan melangsungkan pernikahan. Dalam sebuah hadis disebutkan: "Sultan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali." (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Wali hakim merupakan para khilafah dan sultan negara, di Indonesia berarti presiden Republik Indonesia adalah wali hakimnya. Presiden kemudian dapat mengangkat secara resmi para pembantu dalam menjalankan tugas ini. Biasanya diwakilkan dengan Menteri Agama, dan turun hingga para pimpinan di kantor wilayah kementerian agama dan kantor urusan agama (KUA) di daerah masing-masing.(net)
 


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar