Kisah Sufi

Sultan Ibrahim bin Adham, Buah Delima, dan Pernikahan Semalam

Lukisan Ibrahim bin Adham dikunjungi malaikat, dibuat di Bengal, India Timur sekitar tahun 1790-1800, pelukis tidak diketahui. (Ilustrasi: christies.com)

Pada suatu hari Sultan Ibrahim bin Adham mendapatkan sebuah delima yang hanyut di sungai. Setelah separuh delima itu dimakan, ia sangat menyesal karena hal itu dilakukan tanpa seizin pemiliknya. Dia pun bertekad mencari siapa pemilik buah itu, agar dapat dihalalkan apa yang telah dimakannya.
Di daerah Kufah, tersebutlah orang alim nan kaya bernama Syarif Husein. Dia memiliki seorang putri cantik jelita, namanya Siti Saleha. Selain cantik, sang putri berbudi mulia.

Pada tempat kediaman Syarif Husein terdapat kebun yang sangat indah. Kebun itu ditunggui oleh dua orang yaitu Syekh Ismail dan Mafatihul Arifin.

Di dalam kebun dibuat orang parit-parit yang airnya mengalir ke sungai.

Pada suatu ketika Syarif Husein sakit keras. Dipanggilnya Siti Saleha seraya diberi tahu bahwa telah datang waktunya dia akan berpulang ke rahmatullah. Dia meramalkan, bahwa sepeninggalnya, Siti Saleha akan diperistri oleh Sultan Ibrahim bin Adham.

Dia pun memberi nasehat dan doa kepada putrinya. Siti Saleha pun dititipkan kepada Mafatihul Arifin sebagai ganti ayahnya. Tidak lama antaranya Syarif Husein pun wafat.

Mafatihul Arifin senantiasa menghibur Siti Saleha yang tengah berduka. Diceritakannya contoh-contoh kiasan bagaimana Nabi menghibur putrinya Siti Fatimah yang miskin itu dan dikatakan bahwa kemuliaan yang sejati akan dapat diperoleh di dalam surga kelak.

Pada suatu hari Ibrahim bin Adham yang tengah mencari pemilik delima yang ia gigit sebagian sampai ke rumah Syarif Husein. Kedatangannya disambut oleh Syekh Ismail. Ibrahim yakin bahwa delima yang diperolehnya berasal dari kebun itu, kepada Syekh Ismail dia minta agar delima yang telah dimakannya dapat dihalalkannya.

Syekh Ismail menasihatkannya agar minta kepada Siti Saleha, pemilik yang sebenarnya. Namun, Siti Saleha tidak bersedia menghalalkannya, dengan alasan bahwa di seluruh negeri tidak terdapat buah delima yang semacam itu.

Dia hanya dapat menghalalkannya apabila fakir itu mau menikah dengan dia. Ibrahim menyetujui usul itu dan Siti Saleha pun menjadi istrinya yang berbakti. Namun, mereka hanya semalam saja hidup sebagai suami istri.

Keesokan harinya Ibrahim minta diri kepada Siti Saleha. Dia hendak meneruskan perjalannya ke Makkah untuk memusatkan perhatiannya pada ibadah dalam rangka menjauhkan diri dari dunia yang sementara ini.

Dia menambah bahwa di akhirat yang abadi, kelak mereka akan saling bertemu kembali. Dalam keadaan sedih dan rindu yang mendalam karena perpisahan itu, Siti Saleha tidak lalai memohon ke hadirat Tuhan agar doa suaminya itu terkabul.

Di Makkah semua orang hanya mengenalnya sebagai fakir yang miskin. Berhari-hari pekerjaannya tiada lain adalah salat, tawaf, dan mengerjakan ibadah yang lain.
Siti Saleha melahirkan seorang putra dari perkawinannya dengan Ibrahim yang diberinya nama Muhammad Tahir. Oleh karena Muhammad Tahir oleh teman-temannya selalu dikata-katai sebagai anak tanpa bapak, anak hasil zina, dan kata-kata keji yang lainnya, dia minta izin kepada ibunya hendak mencari ayahnya.

Sang bunda terpaksa mengizinkan dan memberi tahu kepadanya tempat ayahnya berada karena kehendak anaknya itu tidak lagi dapat dihalang-halangi. Pada waktu itu dia berusia 20 tahun.

Muhammad Tahir berhasil bertemu dengan ayahnya di Masjidil Haram. Betapa rindu ayah itu kepada anaknya tidak dapat dilukiskan sehingga dalam berkasih-kasihan itu dia lupa kepada ibadah tawaf yang biasa dilakukannya.

Ketika dia ingat akan hal itu, anaknya pun disuruhnya pergi, bahkan dengan kekerasan dan ancaman. Diberinya anaknya itu cincin kerajaan dan disuruhnya pergi ke Irak untuk pergi ke istana.

Untuk memenuhi perintah ayahnya, Muhammad Tahir pergi ke Irak. Dia pun menuju ke istana dan diterima oleh Wazirul Alam. Demi dilihatnya cincin kerajaan itu, Wazirul Alam dan para menteri hulubalang yang ada di penghadapan mengangkat Muhammad Tahir ke atas singgasana kerajaan.
Namun, Muhammad Tahir tidak mau menerima pengangkatan itu karena kedatangannya semata-mata menaati perintah ayahnya, bukan untuk mencari kekuasaan atau kemuliaan.

Kepada Wazirul Alam, dia hanya menyampaikan nasihat supaya berlaku adil dalam mengemban kekuasaannya, adil dalam melaksanakan semua peraturan negeri, adil dalam menangani setiap macam pengaduan, dalam hal harta benda orang kecil, dan dalam melaksanakan hukum. Untuk melaksanakan keadilan itu, raja hendaknya menunjuk empat orang menteri yang paling baik sebagai pembantu utama.

Muhammad Tahir segera meninggalkan istana seorang diri, dengan membawa sedikit permata, atas desakan keras para wazir.

Sesampainya di Kufah, Muhammad Tahir menyampaikan salam ayahnya kepada Syekh Ismail, Mafatihul Arifin, dan ibunya. Permata yang dibawanya dari Irak diberikan juga kepada ibunya.

Setiap tahun Wazirul Alam tidak lalai mengirimkan delapan unta dengan harta sebagai upeti bagi Muhammad Tahir.


[Ikuti TransKepri.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar