Kunjungan Komisi VII DPR RI ke Lingga
TRANSKEPRI.COM.TANJUNGPINANG -Dalam kunjungan kerja ke Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, Anggota Komisi VII DPR RI, Abdul Wahid menemukan adanya sejumlah dugaan pelanggaran hukum pada kegiatan usaha pertambangan operasi produksi dan pasca tambang.
Hal itu diungkapkannya usai melakukan peninjauan lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Komoditas Bauksit dan Pasir di Kecamatan Singkep Barat dan Singkep Selatan, Kabupaten Lingga, Selasa (17/8).
Lokasi IUP yang dikunjungi politisi dari Fraksi PKB itu di antaranya PT YBP, PT TBJ, PT CSS, dan PT GI di Singkep Barat, serta PT SMA di Singkep Selatan.
Abdul Wahid menyebut, tata kelola dan aktivitas pertambangan di sejumlah tempat yang ia kunjungi masih tidak teratur dan bahkan ada potensi pelanggaran hukum.
“Tadi saya sudah melihat langsung kegiatan operasi produksi dan pasca tambang di beberapa lokasi IUP, baik komoditas Bauksit maupun Pasir. Tata kelolanya amburadul dan masih ada yang tidak taat hukum dan aturan perundang-undangan,” ungkapnya.
Wahid mencontohkan, dugaan pelanggaran hukum yang didapatinya seperti kegiatan penambangan di kawasan hutan tanpa izin atau persetujuan penggunaan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Selain itu, Ia juga mengungkapkan dugaan pelanggaran pada penambangan, pemanfaatan dan pengangkutan mineral di luar IUP. Kemudian pembiaran lahan pasca tambang tanpa reklamasi, serta pembuangan limbah yang dapat merusak lingkungan hidup.
“Terhadap temuan-temuan, tentu akan kami laporkan ke pimpinan untuk ditindaklanjuti ke aparat penegak hukum dan kementerian teknis lainnya. Kita ini kan negara hukum. Tentu tak boleh ada yang merasa superior dan seenaknya melanggar hukum,” katanya.
Terhadap pemegang IUP yang melanggar aturan dan kaidah pertambangan, politisi kelahiran Riau ini akan merekomendasikan pencabutan izin.
"Tadi, ada 2 pemegang IUP Pasir yang tidak mematuhi kaidah pertambangan yang benar. Yaitu, PT CSS dan PT GI. Itu perlu ditutup dan dicabut izinnya," tegasnya.
Selain itu, ia juga akan merekomendasikan sanksi pidana bagi pemegang izin yang melanggar aturan sebagaimana ditur Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Wahid merincikan, dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2013, setiap orang dilarang membawa alat-alat berat, melakukan kegiatan penambangan, mengangkut, membeli dan menjual hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri.
"Bagi yang melanggar dapat dipidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 20 miliar dan paling banyak Rp50 miliar,” imbuhnya.
Selain itu, di dalam Pasal 161 UU No. 3 Tahun 2020, sanksi pidananya juga ditegaskan, setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengangkutan dan penjualan Mineral yang berasal dari luar IUP dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
“Khusus untuk pemegang IUP yang sudah dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan pasca tambang, dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar."
"Selain sanksi pidana, eks pemegang IUP juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pasca tambang yang menjadi kewajibannya,” paparnya.
Sementara itu, lanjut Wahid, dalam UU No. 32 Tahun 2009, juga ada sanksi pidana bagi pemegang IUP yang sengaja atau karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
"Mereka dapat dikenai Pasal 9 ayat (1) dengan dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar," katanya. (tm)