Ilustrasi: Varian baru Covid-19
TRANSKEPRI.COM.JAKARTA- Sebagian orang mungkin belum memahami kenapa virus corona baru SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, varian barunya terus bermunculan di beberapa negara. Termasuk varian baru lokal di Indonesia, yakni B.1.466.2.
Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjadjaran yang juga peneliti, Keri Lestari menjelaskan virus corona baru SARS-CoV-2 atau oleh WHO disebut Covid-19 terus bermutasi hingga muncul berbagai variannya. Virus, kata Keri, bukan tergolong ke dalam makhluk hidup namun mampu bermutasi seiring berjalannya waktu.
"Sama seperti virus lainnya, dengan bermutasi, virus bisa bertahan hidup dan bereproduksi, mutasi terjadi karena virus menyesuaikan kondisi lingkungan dan inangnya," ungkap Keri kepada detikcom, Minggu (1/8/2021).
Keri mengatakan perubahan virus terbagi menjadi dua yang disebabkan karena seleksi genetik, yakni mutasi dan rekombinasi. Mutasi adalah perubahan genetik halus yang terjadi saat ada kesalahan masuk dalam genom virus. Sedangkan rekombinasi, perubahan genetik besar yang terjadi saat dua virus menginfeksi secara bersamaan dan bertukar informasi sehingga mengakibatkan terciptanya virus baru.
"Saat sebuah virus bermutasi, kemampuan bertahan hidupnya meningkat, karenanya virus yang bermutasi bisa lebih berbahaya dibandingkan dengan varian virus sebelumnya, semakin banyak variasinya, virus akan semakin kuat untuk bertahan hidup," terang Keri.
"Secara genetik varian ini (B.1.466.2) dimungkinkan tingkat penularan yang tinggi di masyarakat atau berpotensi menyebabkan penurunan efektifitas vaksin dan terapi obat," kata Keri.Menurut Keri, virus baru hasil dari proses mutasi memiliki kemampuan lebih baik dan lebih cepat menyebar, seperti contohnya virus corona varian Delta. Namun, kata Keri, sebelum varian Delta masuk ke Indonesia, varian lokal B.1.466.2 asal Indonesia pernah mendominasi kasus Covid-19 di Indonesia.
Namun demikian, lanjut Keri, hingga saat ini varian lokal asal Indonesia bukti ilmiah terkait efek secara epidemiologi atau bukti ilmiah yang menunjukan langsung efek dari mutasi yang terjadi belum ada.
"Varian lokal saat ini kasusnya tidak banyak dan sampai saat ini varian delta lebih berbahaya dan lebih mendominasi," terang Keri.
Berdasarkan situs resmi WHO, varian baru lokal Indonesia, B.1.466.2, dimasukan ke dalam kategori Alerts for Further Monitoring. Sample pertamanya dilaporkan pada November 2020 lalu oleh Indonesia.
Keri menjelaskan, varian dalam kategori Alerts for Further Monitoring bisa jadi memiliki potensi berbahaya di masa depan karena memiliki perubahan genetik. "Hanya saja data bukti-buktinya masih belum cukup sehingga dibutuhkan pengawasan dan penelitian berulang yang kuat," pungkasnya. (tm)