Kanker nasofaring menjadi salah satu penyakit yang harus mendapatkan perhatian khusus. / Foto: ilustrasi/urologists
TRANSKEPRI.COM. JAKARTA - Kanker nasofaring menjadi salah satu penyakit yang harus mendapatkan perhatian khusus. Berdasarkan data yang dikumpulkan RSCM, pasien kanker nasofaring pada 2000 menunjukkan jika penderita kanker nasofaring pada kelompok usia di bawah 30 tahun mencapai 12,9%. Tetapi sejak 2005, meningkat menjadi 23,5%, dan beberapa di antaranya menyerang anak di bawah usia 10 tahun.
Sebagaimana diketahui, kanker nasofaring merupakan salah satu kanker leher dan kepala. Faktor risiko kanker nasofaring disebabkan oleh infeksivirus Epstein-Barr (EBV), dan hampir 100% kanker nasofaring berhubungan dengan EBV.
Virus EBV ini hampir ada dalam seluruh tubuh manusia. Meskipun EBV ada dalam tubuh manusia, namun tidak selalu bergejala. Selain itu virus ini juga tidak menular.
Spesialis Radioterapi dari FKUI/RSCM, Prof. Dr. Soehartati Gondhowiardjo menjelaskan, terapi utama kanker nasofaring pada anak adalah pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi.
Pengobatan di luar tiga modalitas tersebut, terlebih nonmedis, sangat tidak dianjurkan. Pembedahan biasanya hanya berupa biopsi dan jika terkonfirmasi kanker maka akan dilanjutkan dengan kemoterapi, radiasi, atau kombinasi keduanya.
"Radiasi atau radioterapi adalah terapi menggunakan sinar pengion yang bila mengenai materi biologi akan mengalami ionisasi dan kemudian mematikan sel," ungkap Prof. Soehartati, dalam webinar Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI), Sabtu (31/7).
"Radioterapi atau orang awam menyebutnya terapi sinar, pada anak-anak dilakukan dengan teknik khusus. Radioterapi saat ini sudah berkembang sehingga menjadi lebih presisi dan sesuai target," sambungnya.
Lebih lanjut, dalam proses radioterapi, hanya daerah yang menjadi target yang akan terkena sinar sehingga tidak merusak jaringan sekitarnya. Dosisnya juga bisa diatur.
Selain itu, dengan kemajuan tekanologi, radioterapi bisa dilakukan menjadi lebih singkat. Salah satu tantangan radioterapi pada anak adalah alatnya cukup besar sehingga menakutkan buat anak.
"Untuk membuat pasien anak nyaman, maka dipasang LCV yang memutar film kartun. Jika perlu anak dianestesi selama proses radioterapi. Seperti terapi lainnya, radioterapi juga memiliki efek samping. Namun dengan semakin terarah penyinaran dan dosis dikurangi maka efek sampingnya akan sangat minimal," jelasnya.
Efek samping yang sering ditemui setelah menjalani radioterapi ada yang bersifat akut misalnya sariawan dan sakit menelan. Sedangkan efek samping jangka panjang berupa gangguan tumbuh kembang, mulut kering, dan risiko munculnya kanker sekunder. Untungnya kanker pada anak sangat radiosensitif, sehingga responsnya cukup baik dibandingkan kanker dewasa.(net)