Facebook menyerukan pentingnya menjaga keamanan anak di ranah online. Tapi, apakah Facebook sendiri aman untuk anak? Foto: dok BBC
TRANSKEPRI.COM, JAKARTA - Media sosial bisa jadi platform berbahaya bagi anak-anak dibawah umur. Karena itu orang tua sangat hati-hati dalam memantau kegiatan putra-putri mereka di ponsel, khususnya di media sosial.
Pada 2018, lebih dari 100 ahli kesehatan anak di Inggris protes keras akan langkah Facebook merilis Messenger Kids. Messenger Kids adalah aplikasi chatting yang dirancang untuk anak dibawah 12 tahun. Dirilis pada 2017, hingga kini pengguna aktifnya sudah naik 3,5x lipat.
Para pakar kesehatan membuat surat terbuka ke bos Facebook Mark Zuckerberg, menyebut bahwa aplikasi Messenger Kids tidak bertanggung jawab. Kenapa? Karena seolah mendorong anak-anak dibawah umur untuk menggunakan Facebook.
Padahal, anak-anak dibawah 13 tahun disebut tidak siap untuk memiliki akun sosial media. Karena mereka dianggap belum cukup matang atau dewasa.
Tapi, Facebook membantahnya, menyebut bahwa Messenger Kids dirancang dengan “keamanan online” agar orang tua lebih bisa mengontrol anak mereka di media sosial.
Bertepatan dengan Hari Anak Nasional (HAN) pada 23 Juli 2021 mendatang, keamanan dan keselamatan anak di ranah online seharusnya memang menjadi perhatian besar.
Kepala Kebijakan Publik untuk Facebook di Indonesia Ruben Hattari mengklaim, menciptakan lingkungan aman untuk komunitas agar anak-anak dapat saling terhubung dan berbagi sangat penting bagi Facebook.
Ia mengklaim ada tiga upaya untuk menjaga keamanan anak di online. Yakni pencegahan, deteksi, serta pelaporan konten yang melanggar kebijakan.
”Di saat yang bersamaan berkoordinasi dengan para ahli dan otoritas yang berwenang untuk menjaga keamanan anak-anak,” ujar Ruben.
Ruben menambahkan bahwa komitmen untuk melindungi anak juga telah diatur oleh Facebook di dalam Standar Komunitas.
Facebook tidak mengizinkan konten yang membahayakan anak secara seksual. Jika ditemui adanya konten tersebut, Facebook akan melaporkannya ke National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) sesuai hukum yang berlaku.
“Kami juga bekerja sama dengan berbagai ahli eksternal, termasuk Dewan Penasihat Keamanan Facebook, untuk membahas dan meningkatkan kebijakan dan penegakan hukum seputar masalah keamanan online, terutama yang berkaitan dengan anak-anak,” jelas Ruben.
Tentu saja, tetap menjadi pertanyaan apakah langkah Facebook ini sudah cukup bagi anak-anak untuk mengenal sosial media di usia yang masih sangat muda?
Problem lainnya, adalah bagaimana agar pengguna Facebook juga bisa memiliki pemahaman terkait perlindungan terhadap anak di media sosial.
Khusus ini, Ruben mengkalim bahwa Facebook sudah mengajak pengguna memahami perlindungan anak-anak dan kelompok muda di ranah online. Salah satunya dengan tidak menyebarkan gambar atau video yang dapat menyebabkan anak-anak sebagai korban.
”Di Halaman Facebook Indonesia, Facebook Juga akan menghadirkan serangkaian konten edukatif untuk dapat membangun kesadaran publik terhadap keamanan anak,” ujar Ruben.
”Salah satunya yaitu konten yang dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan orang-orang mengenai apa yang bisa dilakukan dan proses pelaporannya ketika melihat konten kekerasan seksual daring terhadap anak, dalam bentuk foto maupun video,” pungkasnya. (net)